METODE
TAFSIR IJMALI
Oleh: Junianto Sitorus
A. Pendahuluan.
Alquran datang ke hadapan kaum Arab
kala itu dengan format dan uslub yang tidak pernah mereka kenal
sebelumnya serta keindahan gaya bahasa yang tak tertandingi oleh para tokoh dan
pakar bahasa waktu itu. Kitab suci ini telah menantang para pujangga dan
tokoh-tokoh penyair Arab untuk membuat tandingan bagi Al-Quran, mulai dari
terberat/membuat satu saja:
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ
فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ
إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(38)
Atau
(patutkah) mereka mengatakan: "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah:
"(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat
seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk
membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar."(Q.S. Yunus : 38),
bahkan yang
kurang dari satu surah:
وَإِنْ
كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ
مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ
صَادِقِينَ(23)
Dan jika
kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba
Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan
ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.(Q.S Al Baqarah : 23).
Namun tidak
satupun dari tantangan tersebut dapat mereka yakini, malah mereka mengatakan, “
sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar dalah tukang sihir yang nyata”:
أَكَانَ لِلنَّاسِ عَجَبًا أَنْ
أَوْحَيْنَا إِلَى رَجُلٍ مِنْهُمْ أَنْ أَنْذِرِ النَّاسَ وَبَشِّرِ الَّذِينَ
ءَامَنُوا أَنَّ لَهُمْ قَدَمَ صِدْقٍ عِنْدَ رَبِّهِمْ قَالَ الْكَافِرُونَ إِنَّ
هَذَا لَسَاحِرٌ مُبِينٌ(2)
Patutkah
menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki
di antara mereka: "Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah
orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan
mereka". Orang-orang kafir berkata: "Sesungguhnya orang ini (Muhammad)
benar-benar adalah tukang sihir yang nyata."( Q.S Yunus; 2).
Di lain
kesempatan mereka mengatakan bahwa Alquranhanyalah mitos belaka. Sebagaimana
disebutkan dalam surah Al-Furqan : 5 “dan mereka berkata : dongeng-dongeng
orang terdahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah kepadanya
dongeng itu setiap pagi dan petang”.
Bangsa Arab pada waktu Alquran diturunkan dapat
mengetahui kemukjizatan Alquran melalui fitrah (kemapuan yang dibawa
sejak lahir) yang mereka miliki[1],
tanpa melalui penilitian terlebih dahulu. Hal ini dapt dimaklumi karena nalar
bahasa mereka pada masa itu tinggi, dan belum banyak berbaur dengan bangsa non
Arab. Diantara bukti konkrit yang dicatat sejarah adalah pernyataan Al-Muhgirah
(salah seorang tokoh Quraisy), yang sangat takjub setelah mendengar keindahan
bahasa Alquran. Bahkan diantara mereka (musyrikin Quraisy) ada yang langsung
sujud setelah mendengar bacaan ayat: “Fashda’ bima tukmar wa ‘a’ridh ‘anil
musyrikin”. Ketika ditanya,”apakah kamu telah masuk Islam? Orang
tersebut menjawab: “tidak, tapi saya telah mendengar perkataan yang sangat
menabjubkan”.[2]
Alquran laksana
samudera yang keajaiban dan keunikannya tidak akan pernah sirna ditelan masa,
sehingga muncullah bermacam-macam tafsir dengan metode yang beraneka ragam
pula. Perkembangan sejarah Alquran telah mengalami kemajuan pesat, baik pada
keberadaan dan eksisitensi Alquran itu sendiri, maupun kajian-kajian yang
berhubungan dengannya. Lebih dari seratus cabang ilmu pengetahuan yang
bersumber dari Alquran, dan salah satunya adalah tafsir Alquran al Karim.
Dalam
makalah sederhana ini, akan dikemukakan insya Allah, salah satu metode
penafsiran yang sering kita dengar, yakni metode penafsiran ijmali,
serta selanjutnya akan dibahas bagaimana penafsiran dengan metode ini serta
kelebihan dan kekurangan metode ini.
B. Pengertian Metode Penafsiran Alquran
Kata metode dalam kamus besar bahasa Indonesia diadopsi
dari kata methodos dalam bahasa Yunani. Kata tersebut terdiri dari dua
kata yakni metha, yang berarti menuju, melalui, mengikuti, dan kata hodos
yang berarti jalan, perjalanan, cara, arah. Kata methodos sendiri berarti
penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah, uraian ilmiah.[3]
Dalam bahasa Inggris, kata tersebut ditulis dengan method dan dalam
bahasa Arab diterjemahkan dengan manhaj atau thariqah. Dalam
bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti cara yang teratur terpikir
baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan juga lainnya), cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai
sesuatu yang ditentukan.[4]
Dalam hal ini, metode merupakan salah satu sarana
terpenting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, studi
tafsir Alquran tidak terlepas dari metode penafsiran, yakni cara sistematis untuk
mencapai pemahaman yang benar tentang maksud Allah di dalam Alquran, baik yang
didasarkan pada pemakaian sumber-sumber penafsirannya, sistem penjelasan
tafsiran-tafsirannya, keluasan kejelasan tafsiranny maupun yang didasarkan pada
sasaran dan sistematika ayat yang ditafsirkannya.
Pernyataan segaligus definisi diatas, secara implisit,
memberikan indikasi bahwa metode mengandung seperangkat kaedah dan aturan yang
harus diperhatikan oleh mufassir agar terhindar dari kesalahan dan penyimpangan
dalam menafsirkan Alquran.[5]
Sebelum memulai pembahasan tafsir ijmali, penulis
terlebih dahulu mengemukakan pengertian tafsir, dan definisi ijmali.
Secara etimologi tafsir adalah menjelaskan dan
menerangkan serta menyatakan. Dan menurut istilah banyak pendapat ulama dalam
mendefinisikannya diantaranya adalah;
1.
Al-Kilbiy
dalam at Tashiel menyatakan:
التفسير:
شرح القرآن وبيان معناه ولإفضاح بما يقتضيه بنصه او اشارته او نجواه.[6]
Tafsir ialah: Mensyarahkan Alquran,
menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya
atau dengan isyaratnya, atau dengan najuannya.
2.
Zarkasiy
dalam al Burhan mendefinisikan tafsir dengan
التفسير:
بيان معاني القرآن واستخراج احكامه و حكمه.[7]
Tafsir adalah menerangkan
makna-makna Alquran dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
3.
al
Jurjaniy berkata:
التفسير
في الاصل الكشف والاظهار, وفي الشرعي توضيخ معني الاية, شأنها وقصّتها والسبب الذي
نزلت فيه بلفظ او يدل عليه دلالة ظاهرة.[8]
Tafsir pada asalnya adalah membuka dan
menzahirkan. Pada istilah syara’ ialah menjelaskan makna ayat, urusannya,
kisahnya dan sebab yang karenanya diturunkan ayat, dengan lafaz yang menunjuk
kepadanya secara jelas.
C. Tafsir Ijmali.
Kata Ijmali
secara bahasa adalah global. Dengan demikian tafsir ijmaliy adalah
metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan cara mengemukakan
maknanya secara global.[9]
Al-Tafsir al-Ijmaliy ini menempuh cara penafsiran
ayat-ayat Alquran berdasarkan susunan ayat-ayat yang ada di dalam mushaf
Usmaniy. Seorang mufassir memaparkan ayat demi ayat, surat demi surat secara
teratur dengan penjelasan sederhana sehingga memungkinkan seorang pembaca dapat
memahaminya, baik pembaca tersebut orang-orang yang istimewa, seperti tinggi
ilmu pengetahuannya atau orang lain yang awam. Tujuan asasi penafsiran dengan
metode ini adalah menggunakan bahasa yang dipergunakan oleh jumhur untuk
mendekatkan makna supaya dapat dipahami pembaca. Dalam menafsirkan ayat-ayat
Alquran mufassir menggunakan hadist Nabi, atsar salaf shalih, kejadian sejarah,
kisah-kisah yang termaktub di dalam Alquran dan juga menyebutkan sebab-sebab
diturunkan ayat jika ada.[10]
Seorang
mufassir di dalam tafsirnya menggunakan kata dari bahasa Arab yang mirip bahkan
tekadang sama dengan lafaz Alquran, sehingga pembaca akan merasakan bahwa
uraiannya tersebut tidak jauh dari lafaz-lafaznya.
Satu
sisi karya ini dinilai betul-betul sebagai karya tafsir, dan pada sisi lainnya
benar-benar memiliki hubungan erat dengan susunan bahasa Alquran. cara
penafsiran dengan uslub yang demikian, akan dapat memudahkan seorang pembaca untuk memahaminya.
Diantara beberapa kitab tafsir yang ditulis dengan sesuai
metode ini adalah;
1.
Tafsir
Alquran al Karim oleh Muhammad
Farid Wajdi.
2.
Tafsir
Alquran ak Karim,
oleh Jalaluddin as Suyuthi dan Jalaluddin al Mahalliy.
3.
Tafsir
al Wafiz fi Tafsir Alquran al Karim, oleh Syauq Dhaif.
4.
Tafsir al Wadih oleh Muhammad Mahmud Hijazi.
E. Keistimewaan dan kelemahannya
Dalam menganalisa tafsir ijmali, muncul beberapa
pertanyaan yang berkenaan dengan kegunaan kedua metode penafsiran ini,
diantaranya adalah apa keistimewaan dan kelemahan metode tafsir ini, dan
bagaimana pula contohnya.
Dalam bagian ini akan dibahas insya Allah mengenai
keistimewaan dan juga kelemahan tafsir ini.
Suatu metode
yang dilahirkan seorang manusia, selalu saja memliki kelemahan dan
keistimewaan. Demikian halnya juga dengan metode ijmali ini. Namun perlu
disadari keistimewaan dan kelemahan yang dimaksud disini bukanlah suatu hal
yang negatif, akan tetapi rujukan dalam ciri-ciri metode ini.
Metode ijmali, sebagai salah satu metode
penafsiran Alqur'an memiliki beberaa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh
tafsir-tafsir lainnya, diantara keistinmewaan ini adalah;
a
Praktis
dan Mudah di pahami.
Sesuai dengan
sebutannya, tafsir ijmali ini merupakan penafsiran yang dalam
menafsirkan suatu ayat tidak terbelit-belit, ringkas dan mudah dipahami oleh
pembacanya. Selain itu juga pesan-pesan yang terkandung dalam tafsir ini,
sangat mudah ditangkap oleh pembaca.
b
Bebas
dari penafsiran Israiliyat
Peluang
masuknya penafsiran Israiliyat dalam metode penafsiran ini dapatdihindarkan,
bahkan dapat dikatakan sangat jarang sekali ditemukan. Hal ini disebabkan
uraiannya yang singkat hanya mengemukakan tafsir dari kata-kata dalam suatu
ayat dengan ringkas dan padat.
c
Akrab
dengan bahasa Alquran
Uraiannya
yang singkat dan padat mengakibatkan tidak dijumpainya penafsiran ayat-ayat
Alquran yang keluar dari kosa kata ayat tersebut. Metode ini lebih
mengedepankan makna sinonim dari kata-kata yang bersangkutan, sehingga bagi
pembacanya merasa dirinya sedang membaca Alquran dan bukan membaca suatu
tafsir.
Adapun kelemahan yang dimiliki metode penafsiran ini
diantaranya adalah;
a
Menjadikan
petunjuk Alquran bersifat parsial.
Penafsiran yang
ringkas dan pendek membuat pesan Alquran tersebut tidak utuh dan terpecah-pecah.
Menurut Subhi Saleh kandungan ayat-ayat Alquran mempunyai keistimewaan dalam
hal kecermatan dan cakupannya yang menyeluruh. Setiap kita menemukan ayat yang
bersifat umum yang memerlukan makna lebih lanjut, kita pasti menemukan pada
bagian lain, baik yang bersifat membatasi maupun memperjelas secara rinci. [12]
b
Terlalu
dangkal dan berwawasan sempit
Tafsir ini
tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian atau pembahasan yang
memuaskan beekenaan dengan pemahaman suatu ayat. Ini boleh disebut suatu
kelemahan yang harus disadari para mufassir yang akan menggunakan metode ijmali
ini.
F. Contoh dan Korelasi
Contoh dalam penafsiran Ijmaliy ini dapat kita
lihat pada tafsir al Jalalain, yang hanya membutuhkan beberapa baris saja saat
menafsirkan lima ayat pertama di dalam surat al Baqarah. Al Jalalain saat
menafsirkan Firman Allah QS al-Baqarah 1 memaparkan “الم” misalnya dia berkata Allah Yang Maha Tahu
maksudnya. Demikian pula halnya saat menafsirkan Firman Allah “الكتاب” hanya menyatakan yang dibaca oleh Muhammad
SAW. “لا
ريب فيه”
berfungsi sebagai predikat dan subjeknya adalah “ذالك”. “هدى” berfurngsi sebagai predikta kedua bagi “ذالك” yang mengandung arti memberi petunjuk
bagi orang yang bertaqwa.[13]
Berbeda halnya
dengan imam Qurthubiy dalam tafsirnya al Jami’ Liahkamil Qur’an, yang
membutuhkan tiga halaman dalam menjelaskan atau menafsirkan Firman Allah QS
Al Baqarah 1. Imam memulai penafsiran ayat ini dengan mengemukakan
pentakwilan huruf-huruf muqattha’ah di dalam Alquran. didalamnya ada
beberapa pendapat diantaranya yang dikemukakan ‘Amir as Sya’biy dan Sufyan at
Tsauriy beserta sekelompok muhaddistin yang menyatakan huruf-huruf muqattha’ah
adalah bentuk rahasia-rahasia Allah, yang hanya Allah Mengetahuinya dan kita
tidak perlu untuk membahas dan membicarakannya. Dalam pendapat ini Qurthubiy
memaparkan beberapa perkataan sahabat yang berkenaan dengan masalah ini,
diantaranya perkataan Abu Laist ats Tsamarqadiy dari Umar, Ustman dan Ibnu
Mas’ud yang berkata: “ Huruf -huruf muqattha’ah tidak perlu untuk ditafsirkan.
Kemudian pada pendapat lainnya, imam memaparkan pendapat
yang mengharuskan orang mukmin untuk membahas dan membicarakan tentang
huruf-huruf muqattha’ah, untuk mengambil faedah-faedah yang tersirat di
dalamnya. Dalam pendapat ini terdapat berbagai perbedaan pendapat lain
diantaranya menyatakan bahwa huruf-huruf muqattha’ah merupakan Asma
Allah. Pendapat lainnya menyatakan huruf-huruf muqattha’ah ini adalah
isyarat dari huruf hijaiyah yang hanya Allah mengetahui maksud yang tersirat di
dalamnya. Pendapat selanjutnya adalah pendapat sekelompok ulama yang menyatakan
bahwa huruf-huruf muqattha’ah ini adalah diambil dari Asma Allah yang
sebagian dari kata-katanya dihapus. Misalnya huruf alif diambil dari
kata Allah, huruf laam diambil dari kata Jibril, dan huruf miim
diambil dari kata Muhammad. Dan juga ada yang berpendapat lain bahwa
huruf-huruf muqattha’ah ini diambil dari dari Asma Allah kesemuanya.
Huruf aliif dari Allah, huruf laam dari Asma Allah Latif,
dan huruf miim diambil dari Asma Allah Majiid.[14]
Kemudian pada selanjutnya imam memaparkan pendapat lain
mengenai huruf-huruf muqattha’ah ini yaitu yang dikemukakan oleh Zaid
bin Aslam yang menyatakan bahwa huruf-huruf muqattha’ah ini adalah
nama-nama surat di dalam Alquran. selanjutnya al Kalbiy mengatakan bahwa
huruf-huruf muqattha’ah ini adalah bentuk sumpah Allah. Juga dalam
pendapat-pendapat diatas imam Qurthubiy juga memaparkan beberapa perbedaan dan
perdebatan ulama dalam ikhtilaf ini.[15]
Kemudian imam membahas kata dzalika dan kata kitab.
Dalam masalah ini imam memaparkan penafsirkan dzalika dengaan isyarat
kepada Alquran, yang dilakukan oleh Abu Ubaidah dan Akramah. Contohnya adalah
Firman Allah lainnya
تلك ايات الله نتلوها عليك بالحق
ذالكم حكم الله يحكم بينكم
تلك حجتنا آتيناها ابراهيم
Megenai
kata Kitab, terdapat beberapa pendapat dalam penafsirannya, diantaranya;
Dzalika
kitab
yakni kitab yang telah Aku tulis atas makhluk-makhluk, dengan berbagai bentuk
kesedihan, kegembiraan, ajal rezeki yang tidak ada keraguan di dalamnya.
Ada juga yang
berpendapat dzalikal kitabu adalah suatu isyarat kepada Lauhul Mahfuz.
Yang lainnya
berpendapat dzalikal kitabu adalah Kitab yang dijanjikan Allah kepada
Nabi-Nya yang tidak akan terhapus oleh air. Juga ada yang berpendapat maksudnya
adalah isyarat kepada apa yang termaktub di dalam Taurat dan Injil, serta juga
ada yang berpendapat kata tersebut maksudnya adalah suatu isyarat akan apa yang
telah diturunkan Allah di Makkah atau yang lazim disebut surat-surat Makkiy.
Serta beragam pendapat lainnya yang tidak dapat ditulis penulis kesemuanya.
Dalam penafsirkan “فيه هدي للمتقين” juga terdapat beberapa permasalahan, dan
pada makalah ini penulis akan memaparkan sebagian dari kesemuanya.
Pertama, hudaa
adalah petunjuk yang didapat oleh para Rasul beserta para pengikut mereka.
Kedua, ada yang menafsirkan hudaa disini adalah salah satu nama sungai, karena
sungai merupakan suatu tempat yang sangat dibutuhkan manusia dalam kehidupan
sehari-harinya, sebagaimana juga hidayah/petunjuk sangat dibutuhkan manusia
untuk menemukan kebahagian hidup.
Kemudian imam memaparkan makna taqwa menurut beberapa
ulama, diantaranya ada yang menafsirkan taqwa adalah kebaikan, juga ada yang
menafsirkan taqwa disini dengan sedikit cakap. Karena kata taqwa asalnya adalah sedikit cakap. Serta berbagai
permasalahan lainnya yang diutarakan imam Qurthubiy dalam menafsirkan ayat
pertama surat al Baqarah ini.[16]
Dari pemaparan contoh dari kedua bentuk penafsiran ini,
dapat dilihat perbedaan mendasar dalam penafsiran ayat Alquran dengan
menggunakan metode ijmali dengan
perbedaannya dengan metode tafsir tahlili. Tafsir ijmali menggunakan
metode yang ringkas dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, yang polanya
adalah meletakkan tafsir di dalam rangkaian ayat-ayat seperti penjelasan kata
yang kemudian disimpulkan dengan penjelasan yang umum.
G. Kesimpulan
Penafisran ayat-ayat Alquran yang dilakukan sejak zaman
Rasulullah SAW, mengalami berbagai perkembangan dalam bidang metodologi. Pada
awalnya, penafasiran Alquran dilakukan dengan metode riwayat, atau yang kerap
dikenal dengan Tafsir bil Ma’tsur. Selanjutnya metode ini mengalami
perkembangan, hingga metode yang menggunakan logika, atau yang kerap dikenal
dengan tafsir bil Ra’yi.
Perkembangan selanjutnya, adalah metode penafsiran
penalaran, dimana kitab-kitab tafsir diklasifikasikan kepada salah satu metode
penafsiran baik ijmaliy, tahlili, muqarin, maupun maudhu’i.
Metode tafsir ijmali
merupakan salah satu metode penafsiran yang berusaha untuk mengungkapkan
kandungan makna yang tersirat di di dalam Alquran. dengan berbagai keistimewaan
dan keterbatasannya, metode ini dapat membantu orang baik itu awam maupun
intelektual untuk menggali makna yang tersirat. Namun terlepas dari
keistimewaan dan keterbatasannya.
Metode penafsiran di atas, pada dasarnya adalah usaha
untuk menjelaskan ayat serta hikmat yang tersirat di dalam suatu ayat Alquran.
perbedaan bentuk yang banyak, adalah sebagai bentuk kekayaan khazanah dalam
bidang tafsir ini. Kesemuanya memiliki kesempurnaan dan keterbatasan, sehingga
kesemuanya dapat saling membantu dan juga menutupi satu dengan lainnya.
Daftar Bacaan
Al-Amari, Ali, Haula
I’jaz Al-Quran. Majalah Al-Azhar, 1419.
Al-Farmawiy, Abd al-Hayy Metode
Tafsir Maudhui, Terj. Suryan A. Jamrah. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996.
Al-Mahalli, Jalaluddin dan
Jalaluddin as Suyuthiy, Tafsir Al Qur'an al ‘Azhim, juz 1. Semarang:
Toha Putra, t.th.
Al-Qurthubiy, Muhammad bin Ahmad al Anshariy,
Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, juz 1. Kairo: Darul Ulumil Qur’an, t.th.
As-Shiddiqiy, M. Hasybiy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al Qur'an dan Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang Indonesia,
1992.
Baker, Anton, Metode-metode
Filsafat, cet. 1. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
Salih, Subhi, Mabahis Fi Ulumil Qur’an,
trjmh Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, t.th.
Supiana dan M. Karman, Ulumul
Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir. Bandung: Pustaka Islamika, 2002.
Suma, Muhammad Amin, Studi Ilmu-ilmu Al
Qur'an 2 . Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Tim Penulis, Al-I’jaz
Al-Qur’ani. Baghdad, 1990.
Tim Penyusun, Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
[1] Lhat, Al-I’jaz Al-Qur’ani, (Kumpulan
Makalah Simpoium tentang I’jaz Al-Qur’an di Baghdad, 1990) h.462
[2] Ali Al-Amari, Haula I’jaz Al-Quran
(Majalah Al-Azhar, 1419)h .4
[3] Anton
Baker, Metode-metode Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), cet. 1,
h. 10.
[4] Tim
Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988),
Cet. Ke-1, h. 580-581.
[5] Supiana
dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir
(Bandung:Pustaka Islamika, 2002), Cet ke-1, h. 302.
[6] M.
Hasybiy as Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur'an dan Tafsir
(Jakarta: Bulan Bintang Indonesia, 1992), h. 178.
[7] Ibid,
h. 178.
[8] Ibid,
h. 179.
[9] Abd
al-Hayy al-Farmawiy, Metode Tafsir Maudhui, Terj. Suryan A. Jamrah
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 29
[10] DR.
Zahir bin ‘Iwadh al Ma’iy, Dirasat fi at Tafsir al Maudhu’i lil Qur’an al Karim,
h. 17.
[11] Ibid,
h. 18, lihat juga: H Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al Qur'an 2
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 113
[12] Subhi
Salih, Mabahis Fi Ulumil Qur’an, trjmh Tim Pustaka Firdaus (Jakarta:
Pustaka Firdaus, t.th.), h. 299.
[13]
Jalaluddin al Mahalli dan Jalaluddin as Suyuthiy, Tafsir Al Qur'an al ‘Azhim,
juz 1, (Semarang: Toha Putra, t.th.), h. 2
[14]
Muhammad bin Ahmad al Anshariy al Qurthubiy, al Jami’ Liahkamil Qur’an
(Kairo: Darul Ulumil Qur’an, t.th.) juz 1, h. 128.
[15] Ibid,
h. 129-130.
[16] Ibid,
h. 130-131