METODE TAFSIR IJMALI
Junianto Sitorus,S.Pd.I
A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab yang agung dan sempurna. Keagungan dan
kesempurnaannya bukan hanya dirasakan oleh orang-orang yang memahami
karakteristik bahasanya yaitu bahasa arab tetapi juga dirasakan oleh mereka yang mempercayai dan mengharapkan
petunjuk-petunjuknya dan semua orang yang
mengenalnya sebagai kitab yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Tinggi.
Seseorang yang mempelajari dari aspek bahasanya akan ditemukan berbagai
keindahan bahasa Al-Qur’an dari susunan kata dan kalimatnya serta ketelitian
dan keseimbangan redaksi-redaksinya. Keagungan dan kesempurnaan Al-Qur’an dari
aspek kebahasaannya ini merupakan salah satu bukti kebenaran Al-Qur’an sebagai
wahyu Allah dan bukti kemukjizatan Nabi Muhammad Saw.[1]
Keyakinan dan harapan untuk memperoleh petunjuk-petunjuk Al-Qur’an lebih
dipahami dalam konteks bahwa Allah memberikan hidayah kepada manusia melalui Al-Qur’an
dengan hidayah Aqidah dan syariat.[2] Selain itu Allah juga akan mengangkat derajat
suatu kaum atau merendahkan kaum yang lain dengan Al-Quran. ( H.R. Muslim dari
Umar Ibn Khattab ).
Pengakuan orang-orang kafir dan non muslim terhadap kesempurnaan
Al-Qur’an tidak dapat disembunyikan, misalnya ketika Al-Walid bin Mughirah (
tokoh kaum musyrik Makkah ) mendengar
bacaan Al-Qur’an, lalu ia mengatakan : Ma hadza biqauli basyarin ( Ini
bukan ucapan manusia ).[3] H.A.R. Gibb, dalam bukunya
Mohammedanism mengungkapkan : “Tiada
seorang pun dalam seribu lima
ratus tahun ini telah memainkan alat bernada nyaring yang demikian mampu dan
berani dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti apa yang
dilakukan oleh Muhammad ( melalui
Al-Qur’an )”.[4]
Al-Qur’an laksana samudera yang keajaiban dan keunikannya tidak akan
pernah sirna ditelan masa, sehingga muncullah bermacam-macam tafsir dengan jenis,
corak dan metode yang beraneka ragam pula. Keragaman tafsir yang ada karena didorong oleh keadaan Al-Qur’an
seperti yang dilukiskan oleh Abdullah
Darraz : “Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang
berbeda dengan apa yang terpancar dari
sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jka anda mempersilahkan orang lain
memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.”[5]
Upaya memahami Al-Quran melalui kegiatan
tafsir telah menjadi sesuatu yang amat
penting. Hal ini dikarenakan bahwa Al-Quran adalah wahyu Allah yang tidak
pernah habisnya untuk dikaji,
diperdebatkan atau bahkan didekonstruksi. Selain itu, Al-Quran adalah kitab
suci dan sumber ajaran bagi umat Islam yang menjadi inspirator, pemandu dan
pemadu gerakan-gerakan umat Islam
sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan
umat, sehingga pemahaman-pemahaman yang aktual dan kontekstual berperan penting
bagi maju mundurnya umat Islam.
Ditinjau dari segi metode, penafsiran terhadap
Al-Quran yang berkembang hingga saat ini
dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu : metode tafsir tahlili ( al-manhaj
al-tahlili ), metode tafsir ijmali ( al-manhaj al-ijmali ), metode tafsir
muqarin ( al-manhaj al-muqarin ) dan metode tafsir maudhu’i ( al-manhaj
al-maudhu’i ).[6]
Dalam makalah ini, akan
dikemukakan salah satu metode penafsiran di atas. yakni metode penafsiran ijmali. kelebihan dan
kekurangan metode ini serta contoh-contoh penafsirannya.
B. PENGERTIAN
METODE TAFSIR IJMALI
Sebelum memulai
pembahasan tentang tafsir ijmali, penulis terlebih dahulu mengemukakan
pengertian tafsir dan metode tafsir
Secara etimologi tafsir
berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menyingkap sesuatu
yang tertutup, sedang kata at-tafsir berarti
menyingkap maksud sesuatu lafadz yang musykil.[7] Dan menurut istilah banyak
pendapat ulama dalam mendefinisikannya diantaranya adalah;
1. Al-Zarkasy dalam Al- Burhan mendefinisikan tafsir sebagai berikut :
اﻋﻟﻢ ﯦﻌﺭﻑ ڊﻪ ﻔﻬﻡ ﻜﺗﺍﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻠﻣﻧﺯﻞﻋﻟﻰ ﻧﺑﻴﮫ ﻣﺤﻣد
ﺼﻟﻰ ﺍﻠﻟﮫ ﻋﻟﻳﮫ ﻮﺴﻟﻢ ﻮبيان
معاﻧﻴﮫ واستخراج احكامه و حكمه.[8]
Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah ( Al-Quran ) yang diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad Saw
serta menerangkan makna Alquran dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan
hikmah-hikmahnya.
2. Al - Jurjaniy berkata:
التفسير في الاصل الكشف والاظهار, وفي الشرعي
توضيخ معني الاية, شأنها وقصّتها والسبب الذي نزلت فيه بلفظ او يدل عليه دلالة
ظاهرة.[9]
Tafsir pada asalnya adalah membuka dan menzahirkan. Pada istilah syara’
ialah menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya dan sebab yang karenanya
diturunkan ayat, dengan lafaz yang menunjuk kepadanya secara jelas.
3. Al-Kilby dalam at Tashiel yang dikutip Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan:
التفسير:
شرح القرآن وبيان معناه ولإفضاح بما يقتضيه بنصه او اشارته او نجواه.[10]
Tafsir ialah:
Mensyarahkan Al-Quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang
dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya, atau dengan tujuannya.
Kata metode
berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan gabungan dua kata yakni metha, yang berarti menuju, melalui,
mengikuti, dan kata hodos yang
berarti jalan, perjalanan, cara, arah. Kata methodos sendiri berarti
penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah, uraian ilmiah.[11] Dalam bahasa Inggris,
kata tersebut ditulis dengan method dan dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan manhaj atau thariqah. Dalam bahasa Indonesia kata tersebut mengandung
arti cara yang teratur terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu
pengetahuan dan juga lainnya), cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai sesuatu yang ditentukan.[12]
Kata Ijmali secara bahasa artinya ringkasan,
ikhtisar, global dan penjumlahan.[13] Dengan
demikian tafsir ijmaliy adalah penafsiran Al-Quran yang dilakukan dengan
cara mengemukakan isi kandungan Al-Quran melalui pembahasan yang bersifat
umum ( global ), tanpa
uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara
rinci. [14]
Keterangan lain menyebutkan bahwa metode tafsir
ijmali berarti menafsirkan ayat Al-Quran
yang dilengkapi dengan penjelasan
yang mengatakan bahwa sistematika
penulisannya adalah menurut urutan ayat dalam mushaf Al-Quran dengan bahasa
yang populer, mudah dipahami, enak dibaca dan mencakup.[15]
Dengan demikian, metode tafsir
ijmali berarti cara sistematis untuk menjelaskan atau menerangkan makna-makna
Al-Quran baik dari aspek hukumnya dan hikmahnya dengan pembahasan yang bersifat
umum ( global ), ringkas, tanpa uraian
yang panjang lebar dan tidak secara rinci tapi mencakup sehingga mudah dipahami
oleh semua orang mulai dari orang yang berpengetahuan rendah sampai orang-orang
yang berpengetahuan tinggi.
Diantara
beberapa kitab tafsir yang ditulis sesuai metode tafsir ijmali adalah;
1. Al-Tafsir al-farid li al-Qur’an al-Madjid, oleh Muhammad Abd.
Al-Mun’im
2. Marah Labid Tafsir al-Nawawi/al-tafsir al-Munir li
Ma’alim al-Tanzil,
oleh Al-Syekh Muhammad nawawi al-jawi al-Bantani.
3. Tafsir al Wafiz fi Tafsir Alquran al Karim, oleh Syauq Dhaif.
4.
Tafsir
al Wadih oleh Muhammad Mahmud Hijazi.
5. Tafsir Alquran al Karim , oleh Mahmud Muhammad Hadan ‘Ulwan dan Muhammad Ahmad
Barmiq.
6. Fath
al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an, oleh al-Mujtahid Shiddiq Hasan Khan,
7. Tafsir
Alquran al- Karim, oleh Jalaluddin as Suyuthi
dan Jalaluddin al Mahalliy.
Kitab-kitab tafsir di atas pada hakikatnya
bukan saja bisa ditinjau dari segi metode penafsirannya saja sebagai bentuk
tafsir dengan metode ijmali, tetapi boleh jadi jika ditijnjau dari segi
jenis/pendekatan maupun coraknya bisa tergolong pada jenis dan corak tafsir
yang lain. Misalnya, meskipun tafsir al-Jalalain digolongan sebagai tafsir
metode ijmali tapi dari segi jenis/pendekatanya digolongan pada jenis tafsir
bil ra’yi.
C.
HISTORISITAS METODE TAFSIR IJMALI
Ketika Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah
Muhammad Saw, fungsi beliau adalah sebagai
mubayyin ( pemberi penjelasan )
kepada sahabat-sahabat nabi tentang arti dan maksud dari kandungan al-Quran yang diwahyukan itu,
terutama dalam kaitannya dengan ayat-ayat yang tergolong tidak dipahami ataupun
samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai
dengan wafatnya Rasul Saw. Posisi Rasulullah Saw dalam kaitannya dengan
penafsiran Al-Quran ini dikatakan sebagai al-mufassir al-awwal (
mufassir pertama ).
Setelah wafatnya Rasul Saw, para sahabat tidak mendapatkan
lagi tempat bertanya yang selevel beliau. Akhirnya para sahabat melakukan
ijtihad dalam memahami Al-Quran, khususnya mereka yang tergolong memiliki
kemampuan semacam Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, ‘Ubay bin Ka’ab dan Ibnu
Mas’ud. Selain itu mereka juga tidak
segan-segan untuk menanyakan suatu permasalahan sejarah, terutama sejarah
nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul
kitab yang telah memeluk Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, dan
lain-lain.[17]
Perkembangan tafsir selanjutnya ditandai dengan tokoh-tokoh
tafsir di atas yang memiliki murid dari kalangan tabi’in, khususnya di
kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari
para tabiin tersebut, diantaranya : Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di
Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu Abbas, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin
Aslam, di Madinah, yang berguru kepada Ubay bin Ka’ab dan Al-Hasan Al-Bashri,
Amir Al-Sya’bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.[18]
Ketiga golongan di ataslah
yang pada hakikatnya dapat disebut kelompok Tafsir bil Ma’tsur. Periode
ini merupakan perkembangan awal penafsiran terhadap Al-Quran sampai sekitar
tahun 150 H. Perkembangan tafsir
selanjutnya berada di tangan generasi berikutnya, yaitu tabi’ al-tabi’in
dengan tokoh-tokohnya antara lain Sufyan
bin Uyainah, Waki’ al-Jarrah, Syu’bah al-Hajjaj, Zaid bin Harun dan Abd bin
Humaid.[19]
Penulis tafsir yang terkenal pada periode ini adalah al-Waqidi ( w.207 H ),
sesudah itu Ibnu Jarir ath-Thabary ( w. 310 H ). Para
penafsir yang datang kemudian banyak mengutip dan mengambil bahan dari tafsir
ath-Thabary tersebut yang berjudul : Jami’al-Bayan.[20]
Bersamaan dengan masa
tabi’in dan tabi’ al-tab’in, ekspansi Islam ke berbagai wilayah jazirah
arab maupun luar arab semakin berkembang
dan meluas mencapai daerah-daerah yang masyarakatnya heterogen dan memiliki
dasar-dasar kebudayaan kuno, seperti Persia,
Messopotamia, India, Syiria, Turki, Mesir, dan Afrika Selatan, sehingga
berkembanglah ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh kaum muslimin, seperti ilmu
logika, filsafat, ilmu eksakta, ilmu hukum, ilmu ketabiban. Ilmu-ilmu yang
disebut terakhir ini berpengaruh terhadap perkembangan tafsir Al-Quran. Dalam
menafsirkan Al-Quran, para ahli tafsir
tidak lagi merasa cukup dengan hanya mengutip atau tepatnya menghafal
riwayat dari generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in seperti yang
diwarisinya selama ini, akan tetapi telah mulai berorientasi pada penafsiran
Al-Quran yang didasarkan pada pendekatan ilmu-ilmu bahasa pada khususnya dan
penalaran-penalatan ilmiah yang lain pada umumnya. Maka pada saat ini
berkembanglah apa yang disebut dengan tafsir bil ra’yi atau tafsir bi
al-dirayah. Penulis tafsir jenis ini antara lain :
1.
Al-Zamakhsyari,
dengan karyanya Tafsir al-Kasysyaf
2.
al-Qurthubi
dengan tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Quran
3.
Imam
Ar-Razi dengan karyanya Mafatih al-Ghaib
4.
Abu
Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusi karyanya
al-Bahr al-Muhith
5.
Ibn
al-‘Arabi dengan tafsirnya Ahkam al-Quran, dll. [21]
Berdasarkan uraian di atas, periodesasi sejarah
perkembangan tafsir pada umumnya dibagi menjadi 3 peiode, yaitu : Pertama,
periode mutaqaddimin ( abad 1 H –abad 4
H ) ; kedua, periode muta’akhirin ( abad 4 H – 12 H ) ; ketiga, peride baru (
abad 13 H/19 M – sekarang ).[22]
Jika dicermati
bentuk-bentuk penafsiran terhadap Al-Quran sejak masa Rasul Saw, sahabat dan
tabi’in sebagaimana yang digolongkan oleh M. Quraish Shihab sebagai tafsir bil
ma’tsur, boleh dikatakan sebagai
dasar-dasar bagi tafsir Al-Quran yang menerapkan
metode Ijmali. Tafsir bil ma’tsur adalah jenis tafsir
Al-Quran dengan Al-Quran, penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah atau penafsiran
Al-Quran menurut Atsar yang timbul dari kalangan sahabat.[23] Misalnya tafsir Al-Quran pada masa Rasul Saw
dan sahabat, yaitu ketika Rasul Saw menafsirkan
kata “ UqàÒøóyJø9$# “ dan “tûüÏj9!$Ò9$# “
dalam surat
Al-Fatihah/1 : 7 masing-masing dengan orang yahudi dan nasrani.[24]
Demikian pula ketika Rasul Saw ditanya maksud kata “ ﻈﻟﻢ “ dalam
surah Al-An’am/6 : 82 oleh para sahabat sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu
mas’ud, Rasul Saw menjawab : “kezaliman di sini sesungguhnya adalah “syirik” (
menyekutukan Allah ).[25]
Penafsiran kata “zhulmun”
dengan “al-syirk” tersebut didasarkan pada ayat Al-Quran yang
lain dalam surah Luqman/31 :13, yaitu :
“Dan ( ingatlah ) ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu
ia memberi pelajaran kepadanya : “ Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah, seseungguhnya mempersekutukan ( Allah ) adalah benar-benar kezaliman
yang besar”.
Contoh tafsir
al-Quran pada masa sahabat sepeninggal Rasul Saw yang mengindikasikan dasar-dasar metode tafsir Ijmali adalah
ketika Ibnu Abbas menafsirkan kata “ aulamastum’ dalam surah An-Nisa/4 : 43 dengan “ jima’” ( bersetubuh
). [26] Ayat
tersebut adalah :
bÎ)ur LäêYä.
#ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã
@xÿy ÷rr& uä!$y_
Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$#
÷rr& ãLäêó¡yJ»s9
uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù
(#rßÅgrB [ä!$tB
(#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhsÛ
ÇÍÌÈ
“Dan jika kalian sakit
atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik ( suci )”.
Demikianlah
penafsiran Rasul Saw terhadap ayat-ayat Al-Quran, demikian pula tafsir para
sahabat nabi pada umumnya dijelaskan secara
mujmal ( global ) dalam arti tidak panjang-panjang, tidak secara rinci
yang bisa mengakibatkan bertele-tele. Hal ini dilakukan oleh Rasul Saw dan para
sahabat supaya mudah dipahami oleh orang-orang yang bertanya atau pada umumnya
kaum muslimin pada saat itu. Muhammad Amin Suma menjelaskan bahwa salah satu
karakteristik tafsir, khususnya pada
masa sahabat adalah lebih menekankan pendekatan pada al-ma’na al-ijmali, dan tidak melakukannya dengan panjang lebar dan
mendetail serta membatasi diri pada penjelasab makna-makna lughawi ( etimologis
) dalam ungkapan sederhana dan singkat. [27]
Dengan
demikian metode tafsir ijmali secara historis muncul sejak awal perkembangan
Islam, yakni zaman Rasul Saw sampai pada
masa sahabat ( abad I H ).
D. LANGKAH-LANGKAH YANG DITEMPUH DALAM METODE TAFSIR IJMALI
Sebagaimana telah
dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa Tafsir al-Ijmali merupakan metode menjelaskan dan menerangkan
ayat-ayat Al-Quran secara global, tanpa uraian panjang lebar dan tidak rinci.
Metode ini ditempuh dengan cara menafsirkan ayat-ayat Alquran berdasarkan susunan ayat-ayat
yang ada di dalam mushaf Usmaniy.
Seorang
mufassir memaparkan ayat demi ayat, surat demi surat secara teratur
dengan penjelasan sederhana sehingga memungkinkan seorang pembaca dapat
memahaminya, baik pembaca tersebut orang-orang yang istimewa, seperti tinggi
ilmu pengetahuannya atau orang lain yang awam. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al
Qur'an mufassir menggunakan hadist Nabi, atsar salaf shalih, kejadian sejarah,
kisah-kisah yang termaktub di dalam Al Qur'an dan juga menyebutkan sebab-sebab
diturunkan ayat jika ada.[28] Tujuan
asasi penafsiran dengan metode ini adalah menggunakan bahasa yang dipergunakan
oleh jumhur untuk mendekatkan makna supaya dapat dipahami pembaca.
Dengan
demikian langkah-langkah yang ditempuh oleh para mufassir yang tergolong dalam metode ini antara lain :
1.
Menentukan ayat Al-Quran yang
akan ditafsirkan menurut urutannya dalam mushaf atau menurut urutan turunnya,
2.
Menjelaskan makna mufradat (
kosa kata ) dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami,
3.
Menjelaskan makna ayat-ayat tersebut
berdasarkan kaidah- kaidah bahasa arab, seperti menjelaskan hukum dhamir dan
susunan kalimatnya.
4.
Kadangkala juga menjelaskan asbabun nuzulnya dan
munasabahnya.
5.
Dalam penafsirannya dijelaskan
dengan hadis, atsar para sahabat dan orang-orang shaleh terdahulu atau pendapat penafsir sendiri. [29]
E. ANALISIS KELEBIHAN DAN
KEKURANGAN
Dalam menganalisa metode tafsir
ijmali, muncul pertanyaan apa
keistimewaan atau kelebihan dan
kelemahan metode tafsir ini ?
Suatu metode yang dilahirkan seorang manusia, selalu
saja memliki kelemahan dan keistimewaan. Demikian halnya juga dengan metode tafsir
ijmali ini. Namun perlu disadari keistimewaan dan kelemahan yang
dimaksud disini bukanlah suatu hal yang negatif, akan tetapi rujukan dalam
ciri-ciri metode yang lain. Metode ijmali,
sebagai salah satu metode penafsiran Alqur'an memiliki beberaa kelebihan yang
tidak dimiliki oleh tafsir-tafsir lainnya, diantara kelebihan ini adalah;
1. Jelas dan
Mudah di pahami.
Sesuai dengan sebutannya, tafsir ijmali ini
merupakan penafsiran yang dalam menafsirkan suatu ayat tidak terbelit-belit,
ringkas, jelas dan mudah dipahami oleh
pembacanya. Selain itu juga pesan-pesan yang terkandung dalam tafsir ini,
sangat mudah ditangkap oleh pembaca.
2.
Bebas dari penafsiran
Israiliyat.
Peluang masuknya penafsiran Israiliyat dalam metode
penafsiran ini dapatdihindarkan, bahkan dapat dikatakan sangat jarang sekali
ditemukan. Hal ini disebabkan uraiannya yang singkat hanya mengemukakan tafsir
dari kata-kata dalam suatu ayat dengan ringkas dan padat.
3.
Akrab dengan bahasa Alquran
Uraiannya yang singkat dan padat mengakibatkan tidak
dijumpainya penafsiran ayat-ayat Alquran yang keluar dari kosa kata ayat
tersebut. Metode ini lebih mengedepankan makna sinonim dari kata-kata yang
bersangkutan, sehingga bagi pembacanya merasa dirinya sedang membaca Alquran
dan bukan membaca suatu tafsir.
Adapun
kelemahan yang dimiliki metode penafsiran ini diantaranya adalah;
1.
Menjadikan petunjuk Al-Quran
tidak utuh.
Penafsiran yang ringkas dan pendek membuat pesan Al-Quran
tersebut tidak utuh dan terpecah-pecah. Padahal Al-Quran, menurut Subhi
As-Shaleh mempunyai keistimewaan dalam
hal kecermatan dan cakupannya yang menyeluruh. Setiap kita menemukan ayat yang
bersifat umum yang memerlukan makna lebih lanjut, kita pasti menemukan pada
bagian lain, baik yang bersifat membatasi maupun memperjelas secara rinci. [30]
2.
Penafsiran dangkal atau tidak
mendalam.
Metode tafsir ini tidak menyediakan ruangan untuk
memberikan uraian atau pembahasan yang mendalam dan memuaskan pembacanya berkenaan dengan
pemahaman suatu ayat. Ini boleh disebut suatu kelemahan yang harus disadari
para mufassir yang akan menggunakan metode ijmali ini. Akan tetapi,
kelemahan yang dimaksud di sini tidaklah
bersifat negatif melainkan hanyalah merupakan karakteristik atau ciri-ciri
metode penafsiran ini.
F. CONTOH PENAFSIRAN MENGGUNAKAN METODE IJMALI
Contoh dalam penafsiran Ijmaliy ini dapat
kita lihat pada tafsir al Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin
as-Suyuthi, ketika menafsirkan surat al Baqarah ayat 1 dan 2, Al- Jalalain
mengemukakan : “الم” misalnya dia berkata : “Allah
yang lebih tahu akan maksudnya”. Demikian pula halnya saat menafsirkan Firman
Allah “الكتاب” hanya menyatakan: “yang dibaca
oleh Muhammad” ; ”لا ريب
” berarti “kebimbangan” ; “ﻔﻴﮫ” maksudnya bahwa ia benar-benar
dari Allah. Kalimat negatif menjadi predikat dari subyek “Kitab ini “, sedangkan kata-kata isyarat
“ini” dipakai sebagai penghormatan ; ” ﻫدﻯ “
maksudnya sebagai predikat kedua, artinya menjadi penuntun ; “ ﻠﻟﻣﺗﻘﻳﻥ “
maksudnya orang-orang yang mengusahakan diri mereka supaya menjadi takwa
dengan jalan mengikuti perintah dan menjauhi larangan dengan menjaga diri dari
api neraka.[31]
Demikian pula ketika al-Jalalain menafsirkan ayat
tentang puasa ramadhan yang terdapat dalam surat Al-Baqarah : 183. Firman Allah “ |=ÏGä. #qãZtB#uä ûïÏ%©!$ $ygr'¯»t “, ia hanya menyatakan “difardhukan” ; “öNà6Î=ö7s%`ÏBúïÏ%©!$# n?tã =ÏGä. $yJx.
P$uÅ_Á9$# Nà6øn=tæ “ ditafsirkannya dengan “ diantara umat manusia”
; “ tbqà)Gs? Nä3ª=yès9
“
maksudnya menjaga diri dari
maksiat, karena puasa itu dapat membendung
syahwat yang menjadi pokok pangkal dan biang keladi
maksiat
itu”.[32]
Demikianlah salah satu contoh tafsir al-Jalalain yang tergolong tafsir dengan metode Ijmali. Penjelasaan-penjelasannya
sangat singkat sehingga mudah dipahami terutama bagi orang-orang yang tergolong
pemula dalam mempelajari tafsir Al-Quran. Keterangan-keterangannya juga pada
umumnya didasarkan pada tafsiran yang bersifat muradif ( sinonim ) tetapi
dalam pemilihan kata yang sinonim terhadap makna ayat tertentu selalu
diambil dari lafazh ayat Al-Quran yang lain, seperti kata : |=ÏGä.
ditafsirkannya
dengan : “ﻓﺭﺽ “ ( difardhukan ).
G.
PENUTUP
Dalam ilmu tafsir Al-Quran dikenal
4 macam metode penafsiran, yaitu : metode tafsir tahlili, ijmali, muqarin dan
metode tafsir tematik. Metode tafsir Ijmali yang menjadi kajian dalam makalah
ini dimaksudkan sebagai cara sistematis untuk
menjelaskan atau menerangkan makna-makna Al-Quran baik dari aspek
hukumnya dan hikmahnya dengan pembahasan yang bersifat umum ( global ), tanpa
uraian yang panjang lebar dan tidak secara rinci sehingga mudah dipahami oleh
semua orang mulai dari orang yang berpengetahuan rendah sampai orang-orang yang
berpengetahuan tinggi.
Dalam sejarah penafsiran Al-Quran, metode tafsir Ijmali ini memperoleh keabsahan
dari tafsir yang telah dicontohkan oleh
Rasul Saw sendiri ketika beliau menerangkan ayat-ayat Al-Quran dengan penjelasan-penjelasan
yang singkat, padat, dan tidak panjang lebar. Demikian juga penafsiran para
sahabat tidak jauh berbeda dengan cara penafsiran Rasul Saw. Metode semacam itu
dilakukan oleh Rasul Saw dan sahabat supaya pesan-pesan ajaran Islam yang
tertuang dalam Al-Quran dapat mudah dipahami dan tentunya untuk menghindari pemahaman-pemahaman
yang keliru terhadap ayat-ayat Al-Quran.
Semua jenis, metode dan corak tafsir Al-Quran memiliki
kelebihan dan kekurangan. Maka, metode tafsir Ijmali pasti juga memiliki
kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihannya antara lain :
1.
Jelas dan Mudah di pahami.
2.
Bebas dari penafsiran
Israiliyat.
3.
Akrab dengan bahasa Alquran
Sedangkan kekurangannya antara lain :
1.
Menjadikan petunjuk Al-Quran
bersifat parsial.
2.
Terlalu dangkal dan berwawasan
sempit
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Taufik,
dkk ( Ed.), Ensiklopedi Islam , ( Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2002 ) , jilid V,
Anwar, Rosihan ,
Ilmu Tafsir, Cet.III, ( Bandung
: Pustaka Setia, 2005 )
Baidan,
Nashruddin, Metodologi Penafsiran
Al-Quran, Cet.I, (Yogyakarya : Pustaka Pelajar, 1998),
Baker,
Anton , Metode-metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), cet. 1,
Darraz, Abdullah, Al-Naba’
Al-Azhim, ( Mesir : Dar Al-‘Urubah, 1960 )
Departemen
Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya,
bagian Muqaddimah, ( Semarang : Toha Putra, 1989 )
al-Farmawi,
Abd. Al-Hayy, al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudhu’i, Cet.III, ( Kairo
: Al-Hadharah Al-Arabiyah , 1977 ),
Gibb,
H.A.R., Mohammedanism, ( Oxford
: Oxford Univesity Press, 1952 )
Ibn
Katsir, Ismail , Tafsir Al-Quran
al-Azhim, ( Singapura : Sulaiman Mar’iy, t.t. ), jilid I
Al-Jurjaniy,
At-Ta’rifat, ( Jeddah : Ath-Thabaah wa an Nasyr wa At-Tauzi,
t.t.
al
Ma’iy, Zahir bin ‘Iwadh , Dirasat fi at
Tafsir al Maudhu’i lil Qur’an al Karim
al
Mahalli, Jalaluddin dan as Suyuthiy,
Jalaluddin , Tafsir Al Qur'an al ‘Azhim, Cet. VI , (
Al-Haramain : tp, 2007 ), jilid I
Al-Munawar,
Said Agil Husin , Al-Quran Membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki, ( Jakarta
: Ciputat Press, 2002 )
Al-Qattan,
Manna’, Mahabits fi ‘Ulum al-Quran, (
Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, 1973 )
Ash-Shabuniy,
Muhammad Ali , At-Tibyan fi Ulum
Al-Quran, ( Dimasyq : Maktabah al-Ghazali, 1981 )
As-Shalih,
Subhi, Mabahis Fi Ulumil Qur’an, terj.
Tim Pustaka Firdaus (Jakarta:
Pustaka Firdaus, t.th.)
Shaleh, Sa’aduddin As-Sayyid, Al-Mu’jizah wa I’jaz fi al-Qur’an Al-Karim, ( Kairo : Dar
Al-Ma’arif, 1993 )
as
Shiddiqiy, M. Hasybiy , Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al Qur'an dan Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang Indonesia,
1992)
Shihab,
M. Quraish , Membumikan Al-Quran, (
Bandung : Mizan, 1992 )
____________,
Mukjizat
Al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 1998 )
Suma,
Muhammad Amin , Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, ( Jakarta
: Pustaka Firdaus, 2001 )
Supiana
dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan
Pengenalan Metodologi Tafsir (Bandung:Pustaka
Islamika, 2002), Cet ke-1
Tim
Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1
al-‘Utsaimin,
ASy-Syaikh Muhammad bin Shaleh, Ushul fi at-Tafsir, terj. Abu Abdillah Ibnu Rasto, ( Solo : Pustaka Ar-Rayyan, 2008
)
Al-Zarkasyi,
Badr Al-Din Muhammad bin Abd.Allah, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Quran, ( Kairo ; Al-Halaby, 1957 ), jilid
I
Al-Zarqani,
M. Abdull Azhim, Manahil Irfan fi Ulum Al-Qur’an,
( Mesir : Al-Halaby, 1980 ),
[1] Bukti kebenaran Al-Qur’an dan
kemukjiatannya yang lain adalah : isyarat-isyarat ilmiahnya dan
pemberitaan-pemberitaan gaibnya. Lihat, M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, (
Bandung : Mizan, 1998 ), h. 111-212.
[2]
Sa’aduddin As-Sayyid Shaleh, Al-Mu’jizah
wa I’jaz fi al-Qur’an Al-Karim, ( Kairo : Dar Al-Ma’arif, 1993 ), h. 219.
[3] Shibab,
Ibid, h. 158.
[5]Abdullah
Darraz, Al-Naba’ Al-Azhim, ( Mesir :
Dar Al-‘Urubah, 1960 ), h. 111.
[6] Abd.
Al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i,
Cet.I, (Dirasat Manhajiyyat Maudhu’iyyah, 1396 H/1976 M ),
h. 17.
[7] Manna’
Al-Qattan, Mahabits fi ‘Ulum al-Quran,
( Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, 1973 ), h. 323.
[8] Badr
Al-Din Muhammad bin Abd.Allah Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Quran, ( Kairo ;
Al-Halaby, 1957 ), jilid I, h. 13
[9]
Al-Jurjaniy, At-Ta’rifat, ( Jeddah : Ath-Thabaah wa an Nasyr wa At-Tauzi,
t.t. ), h. 63.
[10] M.
Hasybiy as Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur'an dan Tafsir
(Jakarta: Bulan Bintang Indonesia, 1992), h. 178.
[11] Anton
Baker, Metode-metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), cet. 1, h.
10.
[12] Tim
Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 580-581.
[14] Ibid
[15] Nashruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran Al-Quran, Cet.I, (Yogyakarya : Pustaka Pelajar, 1998), h. 13.
[16] Suma, Studi, h. 113. Lihat juga Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
( Jakarta :
Ciputat Press, 2002 ), h. 73.
[17] M.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran,
( Bandung : Mizan, 1992 ), h. 71.
[18] Ibid.
[19] Abdullah, Taufik,
dkk ( Ed.), Ensiklopedi Islam , ( Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2002 ) , jilid V, h.
30.
[20]
Departemen Agama RI, Al-Quran dan
Terjemahnya, bagian Muqaddimah, ( Semarang : Toha Putra, 1989 ), h. 32.
[21] Suma, Studi, h.42-43.
[22] Departemen Agama RI, Al-Quran,
h. 28.
[23]
Muhammad Ali Ash-Shabuniy, At-Tibyan fi
Ulum Al-Quran, ( Dimasyq : Maktabah al-Ghazali, 1981 ),
h. 63.
[24] Ismail
Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran al-Azhim,
( Singapura : Sulaiman Mar’iy, t.t. ), jilid I,h. 29.
[25] Al-Zarkasyi, Al-Burhan, h. 14.
[26] Ibnu
Abi Syaibah, dalam ASy-Syaikh Muhammad
bin Shaleh al-‘Utsaimin, Ushul fi at-Tafsir, terj. Abu Abdillah Ibnu Rasto, ( Solo : Pustaka Ar-Rayyan, 2008
), h. 64.
[27] Suma, Studi, h. 37.
[28] Zahir bin ‘Iwadh al Ma’iy, Dirasat fi at Tafsir al Maudhu’i lil Qur’an al Karim, h. 17.
[29] Rosihan
Anwar,
Ilmu Tafsir, Cet.III, ( Bandung
: Pustaka Setia, 2005 ), h. 159. Lihat juga, Suma, Studi, h. 113-114. Lihat juga, Al-Munawar, Al-Quran, h. 72-73.
[30] Subhi
As-Shalih, Mabahis Fi Ulumil Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, t.th.), h. 299.
[31]
Jalaluddin al Mahalli dan Jalaluddin as Suyuthiy, Tafsir Al Qur'an al ‘Azhim, Cet. VI , ( Al-Haramain : tp, 2007 ),
jilid I, h. 2.
Tinggalkan Pesan bagi yang membaca Blog ini :sukron
ReplyDeleteazansyahrer.blogspot.com
ReplyDeletetrmaksih atas pos'annya...
sangat membantu untuk materi makalah.hihih..
semoga membawa keberkahan
ReplyDelete