Tafsir Al-Isyari
Junianto Sitorus
A. Pendahuluan.
Rasulullah
Saw. adalah orang yang diberi wewenang oleh Allah Swt. . Untuk menafsirkan, menjelaskan dan
menguraikan kandungan Alquran . Dari fakta tersebut dapat dipahami bahwa
kebutuhan para masyarakat akan penjelasan Alquran terpenuhi semasa hidup Rasulullah Saw., hal
ini dikarenakan seluruh permasalahan yang muncul yang berhubungan Alquran langsung mereka tanyakan kepada Rasulullah
Saw.
Zaman
setelah meninggalnya Rasulullah Saw. dapat dikatakan meruapakan zaman transisi
dari kepemimpinan seseorang yang mendapat bimbingan langsung dari tuhan kepada
seorang manusia biasa. Pada zaman inilah kemudian muncul dan berkembang
beberapa metode penafsiran Alquran . Metode-metode ini dikembangkan, tentu saja
dengan maksud untuk menjawab persoala-persoalan yang muncul di kalangan ummat
muslimin.
Dalam
perkembangan ilmu tafsir, kita mengetahui ada beberapa corak penafsiran,
dimulai dari bi al-ma’tsur, bi al-ra’yi, maudhu’I, ijmali, tahlili, isyari dan
sebagainya.
Makalah
ini akan membahas tentang salah satu metode tafsir tersebut, yakni tafsir isyari.
Pembahasannya akan mencakup beberapa topik sebagai berikut: defenisi tafsir
isyari dan macam-macamnya, kebolehan tafsir isyari, syarat-syarat tafsir
isyari, tafsir shufi isyari, tafsir isyari ilmiah tentang ayat kauniah,
pendapat para ulama tentang kebolehan tafsir isyari dan syarat-syarat tafsir
isyari ilmiah
B. Defenisi Tafsir Isyari Dan Macam-macamnya
Isyarah
secara etimologi berarti
penunjukan, memberi isyarat.[1]
Sedangkan tafsir al-isyari adalah menakwilkan (menafsirkan) ayat
Alquran al-Karim tidak seperti zahirnya,
tapi berdasarkan isyarat yang samar yang bisa diketahui oleh orang yang berilmu
dan bertakwa, yang pentakwilan itu selaras dengan makna zahir ayat–ayat Alquran
dari beberapa sisi syarhis (yang masyru’).[2]
Adapun isyarah menurut istilah
adalah apa yang ditetapkan (sesuatu yang bisa ditetapkan/dipahami, diambil)
dari suatu perkataan hanya dari
mengira-ngira tanpa harus meletakkannya
dalam konteksnya (sesuatu yang ditetapkan hanya dari bentuk kalimat
tanpa dalam konteksnya).[3]
Menurut al-Jahizh bahwa ’isyarat dan
lafal adalah dua hal yang saling bergandeng, isyarat banyak menolong lafal
(dalam memahminya), dan tafsiran (terjemahan)
lafal yang bagus bila mengindahkan isyratnya, banyak isyarat yang
menggantikan lafal, dan tidak perlu untuk dituliskan.[4]
Tafsir isyari ini dibagi kepada
dua cabang, yakni;[5]
Yang pertama adalah ali-syari
al-khafi, yang bisa diketahui oleh orang yang bertakwa, sholeh dan orang
yang berilmu ketika mebaca al-qur’an, maka mereka ketika membaca suatu ayat
akan menemukan beberapa arti.
Yang kedua adalah al-isyari al-jali
(isyarat yang jelas), yang terkandung dalam ayat kauniyah dalam al-qur’an,
yang mengisyaratkan dengan jelas berbagai pengetahuan yang baru. Pada hal
seperti inilah akan tampak kemu’jizatan Alquran
pada masa kini, zaman ilmu pengetahuan.
C. Kebolehan tafsir isyari
Dalil kebolehan tafsir ini dapat
diambil dari ayat berikut:
ا فلا
يتدبرون القرأن أم على فلويهم أقفالها
“maka apakah mereka tidak
memperhatikan Alquran ataukah hati
mereka terkunci”(QS Muhammad; 24)
Allah mengisyaratkan bahwa bahwa
orang-orang kafir tidak memahami Alquran , maka Allah SWT. menyuruh mereka umtuk merenungi ayat-ayat
(tanda-tanda) Alquran Al-karim, agar
mereka mengetahui arti dan tujuannya. Pada ayat diatas Allah SWT. tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa
orang-orang kafir tidak memahami ayat secara lalaf (secara zahir) atau Allah
SWT. tidak menyuruh mereka untuk
memahami zahirnya ayat saja, karena orang arab musyrik, tidak diragukan lagi,
memahami ayat Alquran jika hanya secara zahir. Tapi yang Allah SWT. mau utarakan pada ayat diatas adalah; bahwa
mereka tidak memahami maksud Allah SWT.
dari khitab yang ada dalam Alquran (mereka tidak memahami maksud Alquran ), maka
Allah SWT. menyuruh mereka untuk
merenungkan ayat Alquran hingga mereka
mengetahui maksud dan tujuan Alquran
tersebut. Itulah yang disebut dengan isyarat yang tidak diketahui dan
tidak terpikir oleh orang musyrik tersebut, karena keinkaran dan kekufuran yang
ada dalam hati mereka.
Sesungguhnya seorang yang bersengaja
hanya ingin memahami Alquran secara
zahir saja, akan sulit baginya untuk mengetahui isyarat rabbaniyah (isyarat
dari tuhan, isyarat ketuhanan) yang terkandung dalam ayat Alquran Al-karim.
Contoh dari tafsir ini adalah :
إِذَا
جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ(1)
Bila
ayat ini ditafsirkan dengan metode ijmali adalah bahwa Allah Swt. menyuruh manusia untuk memujiNya, meminta
ampun kepadaNya apabila Allah Swt.
menolong dan memberi kemenangan’, sedangkan Ibn Abbas berpendapat bahwa
itu menunjukkan bahwa Allah Swt.
memberitahu Rasul tentang ajalnya sudah dekat, artinya Allah berfirman
“apabila telah datang pertolongan dan kemenangan (ayat)” maka itu pertanda
ajalmu telah dekat (isyarat) “maka
bertasbihlah kepada Tuhanmu dan meminta ampunlah kepadanya (ayat)”. Umar saja
lalu berkata; “saya tidak mengetahui hal itu kecuali apa yang kamu katakan”.[6]
Abdullah Bin Abbas juga pernah
berkata;”Alquran punya rasa sedih dan
seni (bisa diartikan cabang), punggung dan perut (yang jelas dan yang samar),
seluruh keajaibannya tidak akan tercapai, batasnya tidak akan terjalani, maka
barang siapa yang memasukinya dengan ramah (punya sandaran) maka ia akan
selamat, tapi barang siapa memasukinya dengan kasar (tidak punya pegangan) maka ia akan celaka.
Alquran juga punya kabar, permisalan,
halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutsyabih, zahir dan bathin,
zahirnya adalah bacaannya (yang zahir adalah seperti yang tertulis ) dan yang
bathin adalah ta’wil, karena itu pergauliah ulama (untuk mengetahui hal itu),
dan jauhilah orang-orang bodoh.[7]
D. Syarat Tafsir Isyari.
Banyak ulama yang berpendapat
bahwa tafsir isyari itu tidak boleh, karena khawatir membuat kebohongan tentang
Allah SWT. dalam menafsirkan wahyunya,
tanpa ilmu ataupun petunjuk dan bukti yang jelas. Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa tafsir ini boleh,
menetapkan beberapa syarat yaitu;[8]
- Hendaknya tafsir isyari itu tidak bertentangan dengan makna zahir dari nazhm Alquran Al-karim.
- Tidak boleh dianggap bahwa hasil tafsir isyari itu adalah satu-satunya arti tanpa mengabaikan zahirnya ayat tersebut, atau mengabaikan hasil penafsiran metode lain.
- Tidak bertentangan dengan syari’at atau dengan akal
- Harus punya bukti atau dalil syar’i yang menguatkannya.
Itulah
syarat-syarat yang harus diikuti ketika seseorang ingin menggunakan tafsir
isyari. Apabila selurah syaratnya terpenuhi maka penafsirannya dapat diterima,
tapi apabila ada yang tidak terpenuhi maka penafsirannya tidak dapat diterima.
Perlu digaris bawahi bahwa tidak wajib
bagi seseorang untuk memakai tafsir isyari (ketika menafsirkan) lain
halnya dengan tafsir aqli yang berdasarkan qawaid yang jelas,
kuat dan aturan yang rinci. Sedangkan tafsir isyari hanya arti rahasia
Alquran yang muncul, terpikir dalam dalam hati seorang mu’min yang yang shaleh,
takwa dan berilmu, bagi seorang yang mengetahuinya tidak ada kewajiban, apakah
ia hanya akan menyimpannya saja antara dirinya dengan tuhannya, atau
mengajarkannya kepada orang lain tanpa mewajibkannya orang lain untuk
mempelajarinya.
Begitu juga, dengan hukum-hukum
syariat, tidak bisa disimpulkan dengan cara tafsir isyari, karena tidak
adanya dalil yang jelas, dari itu manfaat yang bisa diambil dari tafsir isyari
hanyalah dalam bidang akhlak, memperkuat jiwa, iman dan keyakinan.
Ada hal yang harus diperingatkan
disini, bahwa tafsir isyari-dengan beberapa syarat yang telah ditetapkan
oleh para pakar, tidaklah sama atau berlawanan dengan metode falsafah teori
sufhi dalam hal tafsir isyarah (tafsir isyari disini berbeda dengan tafsir
isyari as-sufhi), yang keluar dari jalan tafsir yang syar’i
E. Tafsir Sufi Isyari.
Kaum sufi sejak dahulu telah berusaha untuk menemukan
sandaran kepada nash-nash Alquran bagi
ajaran mereka, dan berusaha mengambil ayat-ayat Alquran sebagai tonggak yang
akan menguatkan langkah dan jalan mereka. Kaum sufi melihat bahwa ada ide-ide
yang dalam, terperinci yang tersembunyi di balik dalalah lafziah sebuah ayat.
Mereka berpendapat bahwa makna hakiki dari penurunan Alquran ini tidak akan ada
habisnya hanya pada makna pada bentuk zahirnya saja, tetapi ada makna yang zahir/jelas
dan bathin/samar. Dan yang paling penting adalah hendaklah disandingkan
kedua arti itu.
Kaum
sufi berpendapat bahwa ilmu isyarah adalah ilmu tentang rahasia-rahasia
dalam Alquran dengan jalan mengamalkannya,[9] mereka
menamakannya, mazhab ahlu sufwah dalam menyimpulkan dengan benar apa
yang dapat difahami dari Alquran.
Allah SWT.
berfirman;
ا فلا
يتدبرون القرأن أم على فلويهم أقفالها
Dan nabi Muhammad SAW bersabda;
من عمل بما علم ورثه الله
نعالى علم ما لم يعلم
‘’Barang siapa yang mengamalkan apa yang ia ketahui, niscaya
Allah SWT. akan memberikannya ilmu
tentang apa yang belum ia ketahui’’
Yaitu ilmu yang tidak ada pada
ahli ilmu (ilmuwan lainnya).
Sedangkan iqpalul qulub (hati terkunci) adalah karat
yang ada pada hati, karena banyaknya dosa, mengikuti hawa nafsu, mencintai
dunia, kelalain yang panjang, ketamakan yang sangat, mencintai kesejahteraan,
mencintai pujian dan sanjungan. Dan lain sebagainya yang termasuk dari
kesesatan dan kelalaian, pelanggaran dan pengkhianatan.
Apabila Allah SWT.
telah melepaskan hal itu dari hati, yakni dengan bertaubat yang baik,
dan penyesalan atas perbuatan zalim yang ia lakukan, maka Allah SWT. akan membukakan hati yang terkuci tersebut.,
dan memberikan bekal, faedah dari hal-hal yang ghaib kepada orang tersebut.
Maka dengan begitu seorang yang telah diberikan hal tersebut akan bisa
menta’birkannya (mengkalimatkan) dalam menerjemahkan al-qur’an, yaitu dengan
lidah yang bisa berbicara tentang keghoriban (keanehan) hikmah dan keghoriban
ilmu.
Allah SWT.
berfirman;
أفلا يتدبرون القرأن ولو كان
من عند غير الله لوجدوا فيه اختلافا كثيرا (النساء 82)
‘’Maka apakah mereka
tidak memperhatikan al-Qur’an. Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah
SWT. , tentulah mendapatkan pertentangan
yang banyak didalamnya’’.
Hal
itu menujukkan bahwa dengan merenungkan Alquran Al-karim mereka menyimpulkan
sesuatu darinya (mengambil sari pati),
karena seandainya Alquran bukan dari
sisi Allah SWT. mereka akan mendapatkan
pertentangan yang banyak di dalamnya.
Kaum sufi juga berpendapat bahwa dalam satu huruf Alquran
Al-karim ada banyak yang bisa difahami, tapi hal itu tersimpan bagi orang yang
mengetahuinya saja dan tergantung sebara besar ia diberi pemahaman oleh Allah
Swt.[10] Untuk hal itu mereka mengajukan dalil;
و إن من شيئ إلا عندنا خزائنه
و ما ننزله إلا بقدر معلوم (الحجو 21)
‘’Dan tidak ada sesutau apapun melainkan di sisi kamilah
khazanahnya, dan kami tidak menurunkan melainkan dengan ukuran yang tertentu’’
Kaum sufi berpendapat bahwa kata من شيئ berarti sesuatu dari ilmu agama, ilmu
ahwal (keadaan) antara Allah SWT.
dan hambanya, dan lain sebagainya. Seseorang hanya akan sampai kepada
hal itu bila merenungkan Alquran, memikirkannya dan menyadarinya, menghadirkan
hatinya ketika membacanya.
Abu Said Al-Khurroz berpendapat bahwa apabila seorang hamba
sudah berkumpul dengan tuhannya, maka perhatiannya tidak akan tertuju kepada
selain Allah SWT. sedikitpun, maka pada
saat itu ia akan mendapatkan hakikat pemahaman ketika membaca Alquran, yang
tidak ada pada manusia lainnya’. Ia juga berkata bahwa setiap kali ada satu
huruf yang ada dalam Alquran Al-karim,
maka di situ ada pemahaman yang lain dari pemahaman orang lain, sesuai dengan
kedekatan seseorang kepada Allah Swt., kehadiran hati waktu membacanya, kecintaan
kepadaNya, kesucian dzikir, dan kedekatan, karena perbedaan pada hal inilah
makanya ada tingkatan dalam memahami Alquran.[11]
Apa yang dipahami dari Alquran hanyalah sebatas apa yang
dibukakan Allah bagi hati para wali-walinya. Kalamullah itu bukanlah makhluk,
maka pemahaman makhluk tidak akan pernah sampai kepada batas kalamullah
tersebut, karena manusia adalah makhluk, dan pemahamannya juga adalah makhluk
yang ada awalnya.
Kaum sufi berpendapat bahwasanya kunci untuk pemahaman yang
mendalam dan merinci untuk memahami Alquran adalah mengamalkan Alquran itu
sendiri.[12]
Karena itu Abu Said Al-Khurraz berkata;’awal pemahaman terhadap Alquran
Al-karim adalah mengamalkannya, karena didalamnya terkandung ilmu, pemahaman,
dan pengambilan kesimpulan, juga awal pemahan untuk Alquran adalah dengan
menyimak dan memperhatikan wahyu Allah SWT.
;
إن قى ذالك لذكرى لمن كان له
قلب أو ألقى السمع و هو شهيد (ق 37)
‘’Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benra terdapat
peringatan bagi orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya,
sedang dia menyaksikan.’’
Begitulah kaum sufi melangkah dalam jalan mereka yang
khusus untuk mereka. Mereka mengatakan kepada kita bahwa mereka berdiam
memikirkan satu dari banyak ayat dalam Alquran hingga bermalam-malam, mereka merenungkannya,
dan mengambil kesimpulannya, dan melihat kepada keajaiban yang menarik bagi
mereka, hingga hampi-hampir gila.[13]
Kadang-kadang kaum sufi ini memang benar dalam memahami
Alquran Al-karim dengan isyarah yang mereka maksudkan, orang-orangpun
bisa memerima perkataan mereka, seperti perkataan Abu Bakar al-Kittani ketika
ia ditanya tentang ayat;
إلا من أتى الله بقلب سليم
(الشعراء 89)
‘’Kecuali orang-orang yang menghadap Allah Swt. dengan hati yang bersih’’
Beliau mengatakan;’ yang dapat
difahami dengan qalbun salim, ada tiga sisi/macam: salah satunya adalah
orang yang bertemu dengan Allah Swt.
dan di hatinya tidak ada sekutu Allah Swt. Yang kedua adalah orang yang bertemu dengan
Allah Swt. dan dihatinya tidak ada
kerisauan terhadap Allah dan tidak
menginginkan kecuali Allah. Yang ketiga adalah orang yang bertemu dengan Allah
SWT. dan tidak ada bersamanya kecuali
mengingatNya dan takut padaNya.
Imam Ghazali-yang tidak melarang penafsiran dengan tafsir
sufi ini, jikalau tafsir tersebut tidak mempermudah/memperluas batas-batas
bolehnya bersandar kepada rumus dan isyarah yang mereka
fahami-menafsirkan ayat; فاخلع نعليك ‘’Maka lepaskankanlah sandalmu’’
Tapi juga sebagian dari mereka kadang telah menyimpang
dalam menakwilakan al-qur’an, hingga orang lain teracuni. Beberapa contoh
kesalahan mereka dalam menafsirkan ayat adalah seperti berikut;[14].
الم يجدك يتيما فأوى (الضحى
6)
(bukankah Dia mendapatimu
sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu), mereka berpendapat kata yatim
berati mutiara yang tiada duanya.
Sebagian lagi malah sungguh aneh pendapatnya, sungguh aneh
yang melebihi batas. Seperti pendapat mereka tentang; sesungguhnya Alquran
Al-karim itu dimulai dengan huruf Ba dalam ayat يسم
الله الرحمن الرحيم (الفاتحة 1) dan berkhir dengan huruf
sin, seperti dalam ayat
من الجنة و الناس (الناس 6) , kedua huruf itu membentuk kata بس yang berati cukup, artinya cukuplah Alquran
ini, manusia tidak akan membutuhkan kepada selain Alquran Al-karim.
Ada
banyak tokoh yang membela dan menyerang bentuk penafsiran isyari shufi ini.
Tapi kesemuanya itu bermuara kepada bahwa apabila penafsiran tersebut tidak
melenceng dari zahirnya ayat, maka pada dasarnya tidaklah masalah.[15]
Perbedaan
tafsir isyari dengan isyari as-shufi adalah bahwa penekanan pada isyari
adalah makna yang muncul yang kemudian tidak bertentangan dengan makna zahir
ayat, sedangkan isyari as-shufi berprinsip bahwa makna utama dan
hakiki dalam sebuah ayat adalah makna isyarinya.[16]
F.
Tafsir Isyari Ilmi Untuk Ayat kauniyah dan Kebolehannya.
Sesungguhnya ayat Alquran yang
mengandung isyarat-isyarat kauniyah bukanlah bermaksud untuk menunjukkan
peletakan metode ilmu ilmiah, meskipun ayat itu mencakup atas dasar dan asas
metode seperti ini secara global, tapi maksudnya adalah ingin menujukkan bahwa
Alquran yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw. merupakan kitab dari Allah Swt.
yang telah menciptakan alam ini dan memberikan aturan, yang akal para ulama,
pengkaji bingung (sibuk) untuk memahaminya.
Dan kita-tentu saja-tidak boleh untuk tidak mengindahakan
ayat-ayat kauniyah tersebut, yang berbicara tentang kebenaran, kejujuran sejak
empat belas abad lalu, yang sudah kita kenal, yang mengetok (menarik para
ilmuwan untuk mengkajinya) akal para pengkaji, merobohkan, menolak orang-orang
yang kufur dan inkar. kita tidak boleh meninggalkannya begitu saja tanpa
menjelasakn dan menerangkannya dengan bukti yang menguatkan kebenaran dan
kejujurannya, meski bukti itu berasal dari ilmu orang-orang selain muslim, agar
bukti dan argumen kita lebih kuat dan lebih lengkap.[17]
Dibawah ini ada beberapa ayat kauniyah;
1.
Isyarat-isyarat Alquran tentang kaun (alam) yang berkenaan dengan bumi;
salah satunya adalah ayat; و ترى
الجبال تحسبها جامدة و هى تمر مر السحاب (النمل 88)
‘’Dan kamu lihat gunung-gunung
itu, kamu sangka dia tetap pada tempatnya padahal ia berjalan seperti jalannya
awan.
Hal
ini menunjukkan adanya perputaran bumi
2.
Isyarat Alquran tentang alam yang berkenaan dengan langit dan ruang angkasa
و
السماء ذات الحبك (الذاريات 7)
‘’demi
langit yang mempunyai jalan-jalan (garis edar bintang dan planet)’’
isyarat
akan jalan/garis edar planet dan peredarannya di angkasa.
3.
isyarat Alquran tentang alam yang berkenaan dengan awan dan angin.
أ لم
تر ان الله يجزى سحابا ثم يؤلف بينه ثم
يجعله ركاما فترى الودق يخرج من خلال و يتزل من السمكء من جبال فيها من برد فيصيب
به من يشاء و يصرفه عمن يشاء يكاد سنا برقه يذهب بالأبصار ( النور 43)
‘’Tidakkah kamu melihat bahwa
Allah SWT. mengarak awan, kemudian
mengumpulkan antara (bagian-bagiannya), kemudian menjadikannya bertindah-tindih,
maka kelihatan olehmu hujan turun dari celah-celahnya. Allah SWT. juga menurunkan butiran esa dari langit,
(yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung maka ditimpakannya
(butiran-butiran) es itu kepada siapa yang ia kehendaki dan dipalingkannya dari
sioapa yang ia kehendai. Kilauan kilta awan itu hampir-hampir menghilangkan
penglihatan’’
Ayat
ini menjelaskan proses terjadinya hujan dan petir sebagai hasil pergesekan
awan.
Dengan
Ayat seperti inilah, dan yang serupa dengannya, menjadi lebih jelas bagi kita
tanpa keraguan; bahwasanya ayat kauniyah Alquran Al-karim telah mengisyaratkan
akan asas dan dasar ilmu-ilmu alam, yang manusia baru sampai kepada ilmu itu
baru-baru ini.
Tokoh-tokoh
yang membolehkan tafsir ini, berpendapat
bahwa Alquran Al-karim mencakup ilmu-ilmu agama I’tiqadiyah (keyakinan)
dan ilmu ilmiah (empiris)., semua ilmu-ilmu dunia dengan berbagai macam
ragamnya, cabangnya dan jumlahnya. Orang yang paling getol menguatkan dan
menyebarkan dan mengamalkan tafsir ini, di dunia Islam adalah Imam Al-Ghazali
dan as-Suyuthi.
Sesungguhnya,
orang yang mempelajari Alquran akan bisa melihat bahwa Alquran itu mengandung
ayat-ayat yang masih samar pada masa lalu, meski para sahabat
mengetahui/memahami ayat itu secara zahir, baru sekarang tebuka
rahasianya, dan terbuka kebenarannya di bawah cahaya ilmu pengetahuan modern.
Contohnya adalah ayat yang mengisyaratkan tentang proses penciptaan manusia;
لقد
خلقنل الإنسان من سلالة من طين # ثم جعلناه فى قرار مكين # ثم خلقنا النطفة علقة
فخلقنا العلقة مضغة فخلقنا المضغة عظاما فكسونا العظام لحما ثم أنشأنا خلقا أخر
فتبارك الله أحسن الخالقين (المؤمنون 12-14)
Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu sari pati (yang berasal)
dari tanah # kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam
temapt yang kokoh (rahimj) # kemudian air mani itu kami jadikan segumpul darah,
lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, lalu segumpal daging itu
kami jadikan tulang belulang, lalu tulang-belulang itu kami bungkus dengan
daging, kemudian Kami di Kami jadikan makhluk ( berbentuk) lain. Maka maha
sucilah Allah SWT. sebaik-baik
pencipta.
Ayat
ini, merupakan salah satu mu’jizat dari banyak mu’jizat al-qur’an, dalam
pengurutan kata-katanya, keserasian kontiunitas ayatnya, yang tidak tidak bisa dilihat kecuali para
dokter, yang mempelajari ilmu janin, dan yang berkenaan dengannya. Ayat ini
mengajarkan ilmu janin dengan baligh (jelas tapi indah), penetapan hukum
yang cermat. Dan sekarang, sesungguhnya hal itu telah ditetapkan dan dikuatkan
dengan bukti dan dalil yang jelas. Ayat ini merupakan penjelasan terbaik
tentang penciptaan manusia, sedangkan ilmu kedokteran yang telah berusaha, dan memberikan
segala kemampuannya untuk mencari tahu asal muasal manusia, tetap saja tidak
bisa kecuali mereka selangkah dibelakang Alquran.
Itulah
tingkatan proses penciptaan manusia yang telah diberitahukan oleh Allah Swt.
dalam hikmah Alquran Al-karim, bahwasanya Ia menciptakan manusia dari debu,
kemudian Ia rubah menjadi air mani di tempat yang kokoh, kemudian menjadi
segumpal darah, lalu menajdi daging, kemudian menjadi tulang, lalu dibungkus
dengan daging. Ayat ini menjadi lebih jelas dan kelihatan kebenarannya dibawah
cahaya ilmu pengetahuan modern, yang mana ayat ini merupakan samar dan tidak
diketahui pada masa lalu.
G.
Syarat-Syarat Tafsir Isyari Ilmy
Seseorang
yang ingin mempraktekkan metode tafsir seperti ini harus mengetahui
syarat-syarat dan kaidahnya, hingga
tidak terjerumus dan mengada-ngada dalam menafsirkan Alquran Al-karim
tanpa ilmu. Garis besar syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama
kita adalah sebagaimana berikut;[18]
1. Mengikuti syarat-syarat tafsir yang telah kita sebutkan di atas.
2. Hendaklah tafsir Isyari ilmiy tersebut
selaras dengan makna nazhm Alquran.
3. Hendaklah tidak keluar batasan-batasan tafsir ke
bidang teori-teori ilmiah.
4. Hendaklah mufassir itu mengetahui teori-teori
ilmiah, yang dengannya ia menafsirkan isyarat qur’an tentang alam.
5. Hendaklah ia tidak membawa, mempersamakan dan
mengalahkan ayat Alquran kepada teori-teori ilmiah, apabila ternyata teori itu
selaras dengan ayat Alquran maka berarti ayat itu dikuatkan dengan teori
tersebut, tapi apabila bertentang maka janganlah dibawa/ dan dikalahkan ayat tersebut ke teori ilmiah.
6. Hendaklah ia menjadikan kandungan ayat kauniyah
tersebut sebagai dasar penjelasan dan tafsirannya.
7. Harus berpegangan pada makna etimologi bahasa Arab
yang ada pada ayat itu, ketika menjelaskan makna isyarat ilmiah ayat kauniyah
tersebut. Karena Alquran berbahasa Arab.
8. Tidak menyalahi kandungan syari’at dalam
tafsirannya.
9. Hendaklah tafsirannya itu sesuai dengan yang
diinginksn oleh ayat, tanpa ada kekurangan penjelasan tentang makna ayat
tersebut, dan tidak lebih dengan hal-hal yang tidak relevan dengan ayat dan
tidak sesuai pada posisinya.
10. Hendaklah menjaga kesatuan antar ayat dengan ayat
lainnya, keselarasannya, dan keunitannya, hendaklah ia mengikat satu ayat
dengan yang lainnya (ayat sesudahnya dan sebelumnya), agar ayat itu menjadi
kesatuan yang lengkap.
H. Penutup.
Tafsir
al-isyari adalah menakwilkan (menafsirkan) ayat Alquran al-Karim tidak seperti zahirnya, tapi
berdasarkan isyarat yang samar yang bisa diketahui oleh orang yang berilmu dan
bertakwa, yang pentakwilan itu selaras dengan makna zahir ayat–ayat Alquran
dari beberapa sisi syarhis (yang masyru’).
Tafsir
isyari ini dibagi kepada dua cabang, yakni; tafsir al-isyari al-khafi,
dan tafsir al-isyari al-jali.
Tidak
diragukan lagi bahwa dapat dibuktikan bahwa tafsir isyari ini boleh
dipakai dalam menafsirkan Alquran. Akan tetapi tentu saja tidak terlepas dari
kaedah-kaedah dan syarat-syarat dalam penggunaannya.
Perbedaan
tafsir isyari dengan isyari as-shufi adalah bahwa penekanan pada isyari
adalah makna yang muncul yang kemudian tidak bertentangan dengan makna zahir
ayat, sedangkan isyari as-shufi berprinsip bahwa makna utama dan
hakiki dalam sebuah ayat adalah makna isyarinya.
Sedangkan
tafsir isyari ayat kauniyah adalah tafsir isyari yang
digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat kauniyah. Syarat pokok dalam pola
penafsiran ini adalah bahwa seseorang tidak boleh membawa atau mengalahkan
Alquran dengan teori-teori ilmiah bila ternyata hasil penafsirannya berbeda.
Daftar Pustaka
Al-Qa¯¯±n, Mann± Khal³l, Mab±¥I£ f³ ‘Ulm
al-Qur’±n. Riyadh: Man¡ur±t al-¦ad³£, 1973.
As-Shabuni, Muhammad Ali, Pengantar Studi Alquran, terj. Jakarta:
al-Ma’arif, 1987.
Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-Tafsir Alquran. Bandung:
Pustaka, 1987.
Maruzi, Muslich, Wahyu Alquran Sejarah dan
Perkembangan Ilmu Tafsir. Jakarta: Pustaka Amani, 1987.
Rahman, Syeikh Khalid Abdur Ushul Tafsir wa
Qawa’iduhu. Damaskus, Dar an-Nafais, 1994.
Suma, Muhammad Amin, Studi Ilmu-Ilmu Alquran. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2001.
Taufiq, Faraj dan Fadhil Syakir Na’im, Ulumu
al-Qur’an. Baghdad: Dar al-Hurriyah, 1987.
[1] Syeikh Khalid Abdur
Rahman, Ushul Tafsir wa Qawa’iduhu (Damaskus, Dar an-Nafais, 1994), h.
206. lihat juga Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Alquran (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2001), h. 97.
[2] Khalid Abdurrahman, Ushul
Tafsir wa Qawa’iduhu, h. 205. lihat juga Mann± Khal³l al-Qa¯¯±n, Mab±¥I£
f³ ‘Ulm al-Qur’±n (Riyadh: Man¡ur±t al-¦ad³£, 1973), h. 375. juga Faraj
Taufiq dan Fadhil Syakir Na’im, Ulumu al-Qur’a (Baghdad: Dar
al-Hurriyah, 1987),h 234.
[3] Khalid Abdurrahman, Ushul
Tafsir, lihat juga Muslich Maruzi, Wahyu Alquran Sejarah dan
Perkembangan Ilmu Tafsir (Jakarta: Pustaka Amani, 1987), h. 78.
[4] Khalid Abdurrahman, Ushul
Tafsir, h. 207.
[5] ibid.
[6] Khalid Abdurrahman, Ushul
Tafsir, h. 208.
[7] ibid.
[8] Ibid.
[9] Muhammad Ali
as-Shabuni, Pengantar Studi Alquran, terj. (Jakarta: al-Ma’arif,
1987), h. 234.
[10] Khalid Abdurrahman, Ushul
Tafsir, h. 210.
[11] Khalid Abdurrahman, Ushul
Tafsir, h. 211.
[12] ibid.
[13] Khalid Abdurrahman, Ushul
Tafsir, h. 212.
[14] Khalid Abdurrahman, Ushul
Tafsir, h. 213.
[15] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir
Alquran (Bandung: Pustaka, 1987), h. 249.
[16] Faraj Taufiq, Ulum
al-Qur’an, h. 234.
[17] Khalid Abdurrahman, Ushul
Tafsir, h. 217.
[18] Khalid Abdurrahman, Ushul
Tafsir, h. 220.
No comments:
Post a Comment