Saturday, 26 May 2012

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PENDIDIKAN

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

A.   PENDAHULUAN
Sumber daya manusia dalam suatu organisasi , baik formal maupun non-formal, pada dasarnya merupakan perwujudan dari peningkatan sumber daya manusia secara keseluruhan. Hal ini merupakan suatu infestasi bagi organisasi, dan akan berimplikasi positif terhadap pengembangan sumber daya manusia suatu bangsa.
Tujuan pengembangan sumber daya manusia dalam organisasi merupakan kegiatan menarik, mengembangkan, memotifasi personal, memberikan pernaharnan terhadap posisi dan standar yang harus ditampilkan.

METODE TAFSIR IJMALI

METODE TAFSIR IJMALI
Junianto Sitorus,S.Pd.I

A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab yang agung dan sempurna. Keagungan dan kesempurnaannya bukan hanya dirasakan oleh orang-orang yang memahami karakteristik bahasanya yaitu bahasa arab tetapi juga dirasakan  oleh mereka yang mempercayai dan mengharapkan petunjuk-petunjuknya dan semua orang yang  mengenalnya sebagai kitab yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Tinggi.
Seseorang yang mempelajari dari aspek bahasanya akan ditemukan berbagai keindahan bahasa Al-Qur’an dari susunan kata dan kalimatnya serta ketelitian dan keseimbangan redaksi-redaksinya. Keagungan dan kesempurnaan Al-Qur’an dari aspek kebahasaannya ini merupakan salah satu bukti kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu Allah dan bukti kemukjizatan Nabi Muhammad Saw.[1]

Monday, 14 May 2012

Manajemen Pendidikan Islam

KONSEP DASAR MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
OLEH : JUNIANTO SITORUS, S.PD.I

BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu Manajemen sebetulnya sama usianya dengan kehidupan manusia, mengapa demikian karena pada dasarnya manusia dalam kehidupan sehari harinya tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip Manajemen, baik langsung maupun tidak langsung. Baik disadari ataupun tidak disadari. Ilmu Manajemen ilmiah timbul pada sekitar awal abad ke 20 di benua Eropa barat dan Amerika. Dimana di negara-negara tersebut sedang dilanda revolusi yang dikenal dengan nama revolusi industri. Yaitu perubahan-berubahan dalam pengelolaan produksi yang efektif dan efisien.

Saturday, 12 May 2012

Tafsir Isyari

Tafsir Al-Isyari
Junianto Sitorus

A. Pendahuluan.
Rasulullah Saw. adalah orang yang diberi wewenang oleh Allah Swt.  . Untuk menafsirkan, menjelaskan dan menguraikan kandungan Alquran . Dari fakta tersebut dapat dipahami bahwa kebutuhan para masyarakat akan penjelasan Alquran  terpenuhi semasa hidup Rasulullah Saw., hal ini dikarenakan seluruh permasalahan yang muncul yang berhubungan Alquran  langsung mereka tanyakan kepada Rasulullah Saw.
Zaman setelah meninggalnya Rasulullah Saw. dapat dikatakan meruapakan zaman transisi dari kepemimpinan seseorang yang mendapat bimbingan langsung dari tuhan kepada seorang manusia biasa. Pada zaman inilah kemudian muncul dan berkembang beberapa metode penafsiran Alquran . Metode-metode ini dikembangkan, tentu saja dengan maksud untuk menjawab persoala-persoalan yang muncul di kalangan ummat muslimin.

Saturday, 5 May 2012

Tafsir Bi Al-Ra'yi

TAFSIR BI AL-RA’YI
Junianto Sitorus

A.    Pendahuluan.
Perkembangan hidup manusia mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan akal pikirannya. Hal ini jelas mempunyai pengaruh dalam pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Pada abad pertama Islam, para ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan sebagian para ulama bila ditanya mengenai satu ayat, mereka tidak memberikan jawaban apapun.[1]
Namun pada abad-abad berikutnya, sebagian besar ulama berpendapat bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an selama ia memiliki syarat-syarat tertentu seperti : pengetahuan bahasa yang mencakup Nahwu, ¢haraf, Balaghah, juga Ilmu h­luddin ,Ilmu  Qir±’ah, Asb±b al- Nuzul, N±sikh- Mans­kh, dan lain sebagainya.
Sejarah penafsiran Al-Qur’an dimulai dengan menafsirkan ayat-ayatnya sesuai dengan hadist-hadist Rasulullah Saw, atau pendapat para sahabat. Penafsiran demikian terus berkembang sehingga dengan tidak disadari telah bercampur dengan hal-hal yang berbau Isr±iliyat (kisah-kisah yang bersumber dari ahli kit±b yang umumnya tidak sejalan dengan kesucian agama atau pemikiran yang sehat). Hal ini mengakibatkan sebagian ulama menolak penafsiran yang menggambarkan pendapat-pendapat penulisnya atau menyatukan pendapat-pendapat tersebut dengan hadis-hadis atau pendapat-pendapat para sahabat yang dianggap benar.
Demikianlah hingga kemudian muncul beraneka corak tafsir, ada yang berdasarkan nalar penulisnya saja, ada pula berdasarkan riwayat-riwayat, ada pula yang menyatukan antara keduanya. Persoalan yang dibahaspun bermacam-macam. Untuk membatasi bidang kajian ini, maka makalah ini akan membahas tentang Tafsir bi al-Ra’yi, hal-hal yang berhubungan dan ruanglingkupnya.

B.    Pengertian Tafsir bi al-Ra’yi.
Tafsir menurut 'Ibn ¦ayy±n ialah suatu ilmu yang membahas cara menuturkan/ membunyikan lafad§-lafad§ Al-Qur’an, Madlul-Madlulnya baik mengenai kata tunggal maupun mengenai kata tarkib dan makna-maknanya yang digantungkan oleh keadaan susunan dan beberapa kesempurnaan bagi yang demikian seperti, sakh, Asbab al-Nuzul, kisah yang mengatakan apa yang tidak terang di dalam Al-Qur’an dan lain-lain yang mempunyai hubungan erat dengannya.[2]
Menurut ‘Ali ¦asan al-‘Aridl tafsir  ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafad§-lafad§ Al-qur’an, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun serta makna-makna yang dimungkinkan ketika dalam keadaan tersusun.[3]
Tafsir bi al-Ra’yi (penafsiran dengan rasio) adalah penafsiran yang dilakukan dengan menetapkan rasio sebagai titik tolak. Corak ini dinamakan juga dengan al- Tafsir bi al-Ijtih±di, yaitu penafsiran yang menggunakan ijtihad. Karena penafsiran seperti ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir. Perbedaan-perbedaan antara satu mufassir dengan mufassir lain lebih mungkin terjadi, dibandingkan al- Tafsir bi al-Ma’t£­r. Karena alasan tersebut, beberapa ulama menolak penafsiran dengan corak ini, dan menyebutnya sebagai al- Tafsir bi al- Hawa (tafsir atas dasar hawa nafsu). Namun, banyak para ulama yang dapat menerima tafsir corak ini juga, tapi dengan syarat-syarat tertentu pula. Penerimaan mereka didasarkan atas ayat-ayat al-qur’an sendiri, yang menurut mereka , memang menganjurkan manusia untuk memikirkan dan memahami kandungannya. Adapun ayat-ayat yang mendukung kebolehan tafsir corak ini, sebagaimana yang dikutip ¢hubhi al-¢h±lih, adalah sebagai berikut.21
أفلا يتد برون القران ام على قلوب أقفالها. } سورة المحمد: 24{
Artinya : “Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci”. (Q.S. Muhammad: 24).

كتاب أنزلنه إليك مبارك ليد بروا اياته وليتذ كر أولوا ا لباب. } سورة الص: 29{
Artinya: “Ini adalah kitab yang kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, agar mereka memperhatikan ayat-ayat dan orang-orang yang mempunyai pikiran dapat memperoleh pelajaran darinya”. (Q.S. as-Shad: 29).
Perlu dijelaskan, meskipun mufassir dalam hal ini menggunakan pemikiran, namun ia tidaklah bebas mutlak. Mufassir harus bertolak dari pemahamannya terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam al- Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Akan tetapi pemahaman tersebut tidak cukup untuk menjamin penafsiran cara ini. Karena itu, dalam menggunakan corak tafsir ini diberlakukan syarat-syarat mufassir dan kaedah-kaedah penafsiran yang ketat, antara lain:
1.   Memiliki pengetahuan bahasa Arab dan segala seluk beluknya.
2.       Menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an.
3.             Menguasai ilmu- ilmu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu al-Qur’an, seperti hadis, Ushul fiqh dan lain sebagainya.
4.       Beraqidah yang benar.
5. Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam.
6.             Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat yang ditafsirkan.22
Secara umum tafsir dibagi kepada dua, yaitu tafsir naqli dan tafsir ‘aqli. Dari dua jenis tafsir tersebut yang saling ketemu itu timbulllah tafsir yang didasarkan pada pendapat atau opini. Jenis tafsir ini dilarang muthlak oleh sementara ulama. Larangan tersebut berdasarkan pada sebuah hadis; “Barang siapa yang berbicara mengenai al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri, walaupun ternyata benar, maka ia tetap telah berbuat sesuatu yang keliru”. Sedangkan menurut pemahaman penulis, yang dimaksud  “pendapat” dalam hadis tersebut ialah perkataan yang diucapkan tanpa dalil yang sah menurut syara’. Orang yang berbuat demikian itu tidak menempuh jalan yang lurus dalam menafsirkan al-Qur’an. Akan tetapi jika orang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan dalil-dalil yang sah menurut syara’, tentu pendapatnya patut dipuji dan sama sekali tidak membahayakan agama.
Apabila zaman sahabat sampai dengan zaman at-°habari (225 H/839 M-310 H/923 M) penafsiran ayat dilakukan dengan cara menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan hadis-hadis nabi SAW, ataupun al-Qur’an dengan ijtihad para sahabat, maka pada zaman sesudah at-thabari timbullah berbagai penafsiran, aliran, dan dengan berbagai pendapat.23 Tafsir yang disandarkan kepada al-Qur’an, hadis Nabi SAW dan perkataan sahabat dikenal dengan Tafsir bi al- Ma’t£­r. Sedangkan penafsiran yang disebut terakhir dinamakan Tafsir bi al-Ra’yi.
Setelah zaman at-Thabari, tafsir sudah bercampur dengan pendapat-pendapat pribadi para mufassir. Bahkan mereka sudah mulai melakukan penafsiran dengan mengunakan akal, sehingga ada penafsiran ayat yang keluar dari makna kata. Hal ini terjadi karena pengaruh pendapat pribadi, ilmu pengetahuan dan perkembagan zaman. Para ulama berbeda pendapat mengenai tafsir bi ar-Ra’yi. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkannnya. Yang mengharamkan, diantaranya Sa’id bin Musayyab, ulama dari kalangan t±bi’³n (15-94 H), dan yang membolehkan di antaranya ; Mujahid bin Jabir ulama dari kalangan t±bi’³n (18 H/639 M-101 H/719 M) dan ulama-ulama dari kalangan Mu’tazilah, seperti al-Jahiz ‘Abu `Usman bin Bahar (w. 255H) dan an-Nazzam (w. 231 M).
Pada hakikatnya perbedaan itu berkisar sekitar apakah penafsiran yang dilakukan melalui pendapat akal semata tanpa memperhatikan kaedah-kaedah bahasa, prinsip-prinsip Syara’ dan lain sebagainya. Hal ini dapat dikatakan telah memenuhi apa yang dikehendaki Allah SWT. Namun, apabila penggunaan akal tersebut disertai dengan syrat-syarat yang diperlukan bagi seorang mufassir, maka tidak ada halangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu. Bahkan al-Qur’an sangat menganjurkan untuk mempergunakan ijtihad dalam memahami ayat-ayat-Nya dan ajaran-ajaran-Nya.
Pada periode ini bermunculan kitab-kitab tafsir dengan berbagai pendekatan seperti pendekatan bahasa, ilmu pengetahuan, fiqh, sejarah, tasawuf dan teologi,untuk dapat menerima penafsiran melalui tafsir bi al-ra’yi, Az-ªarkasy³ mengemukakan sekurang kurangnya ada empat (4) syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
1.       Ra’yu tersebut merupakan nukilan dari Rasulullah SAW, dengan  tetap memperhatikan nilai nukilan itu.
2.      Ra’yu tersebut terambil dari perkataan sahabat.
3.      Harus mempertahankan prinsip-prinsip kebahasaan.
4.      Berpedoman pada arti kalimat yang sesuai dengan ketentuan syara’.24

C.    Perbedaan Tafsir Bi al-Ra’yi dengan Tafsir Bi al-Ma’tsur.

Bila tafsir bi al-ra’yi adalah seperti yang diuraikan di atas yakni penafsiran dengan menggunakan rasion sebagai titik tolak penafsiran, yang kemudian juga disebut dengan tafsir ijtihadi karena penafsiran tersebut merupakan hasil ijtihad seseorang, maka Tafsir bi al-Ma’t£­r  adalah:

هو الذى يعتمد على صحيح المنقول بالمراتب التي ذ كرت سابقا في شروط المفسر من تفسر القران بالقران, او بالسنة أ نها جاءت مبينة لكتاب الله. او بما روي عن الصحاب نهم اعلم الناس لكتاب الله. او بماقاله كبار التابعين أنهم تلقوا  ذ لك غالبا عن الصحابة.

Artinya : “Tafsir bi al-ma’t£­r ialah tafsir yang berpegang kepada riw±yat yang ¡hah³h, yaitu menafsirkan Al-qur’an dengan Al-qur’an, atau dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan kit±bull±h, atau dengan perkataan para ¡ahabat karena merekalah yang paling mengetahui kit±bull±h atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar t±bi’³n karena pada umumnya mereka menerima dari para ¡ahabat”.[4]
Sedangkan menurut Muhammad ‘Ali ash-¢h±buni, tafsir bi al-ma’t£­r  ialah rangkaian keterangan yang terdapat dalam Al-qur’±n dan al-sunnah atau kata-kata ¡ahabat sebagai keterangan/ penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al-qur’an dengan as-sunnah. Dengan demikian tafsir bi al-ma’t£­r adalah tafsir Al-qur’an dengan Al-qur’an atau penafsiran Al-qur’an dengan as-sunnah.[5]
Tafsir bi al-ma’t£­r adalah tafsir yang mencakup penjelasan terperinci dari sebuah ayat dengan ayat lain dalam Al-qur’an (tafsir al-qur’an bi al-qur’an), keterangan yang berasal dari Ras­lull±h Saw (tafsir al-qur’an bi as-sunnah), sahabat dan t±bi’³n berkenaan dengan penjelasan maksud Allah Swt yang terdapat dalam nash-nash kitab-Nya yang mulia.[6]
Dari penjelasan diatas dapatlah dipahami bahwasanya tafsir bi al-ma’t£­r adalah suatu usaha untuk memahami ayat-ayat Al-qur’±n dengan Al-qur’an atau as-sunnah Ras­lull±h Saw, dan sebagian ulama berpendapat bahwa menjelaskan Al-qur’an dengan perkataan para ¡ahabat bahkan t±bi’³n masih termasuk tafsir bi al-ma’t£­r bahkan mereka memberi alasan karena para t±bi’³n langsung menerimanya dari para ¡ahabat, dan tafsir bi al-ma’t£­r ini adalah merupakan jalan yang paling aman dari kesesatan dalam memahami Al-qur’an.
Beberapa perbedaan yang mendasar dari kedua corak penafsiran ini adala:
1.       Tafsir bi al-ma’tsur pada umumnya seragam, karena sumber yang dipakai adalah sama, yakni Alquran, Sunnah, perkataan Sahabat dan seterusnya. Sedangkan tafsir bi al-ra’yi akan jauh dari seragam, keseragamannya hanya akan terlihat dalam menafsirkan kata-kata yang sudah sangat jelas tunjukannya, sedangkan pada hal-hal lain, maka penafsiran dengan rasio ini akan terpengaruh dengan cara seseorang berfikir, menganalisa, tempat, masa, kondisi dan situasi.
2.      Tafsir bi al-ra’yi lebih tertutup peluangnya untuk tercampur dengan israiliyyat, karena tafsir ini tidak akan memakai sumber yang tidak jelas sumbernya dan yang tidak masuk akal. Sementara peluang itu relatif lebih besar pada tafsir bi al-ma’tsur.
3.      Tafsir bi al-ra’yi terlihat lebih dapat dipahami bila dikaitkan dengan masa ke-kinia, karena tafsir ini akan terus berubah sesuai dengan corak pemikiran dan zaman, sementara tafsir bi al-ma’tsur, karena sumbernya sudah tetap, maka sifatnya akan statis, intrepretasi terhadap sumber-sumber tafsirnyalah yang kemudian bisa berubah-ubah.

D. Kitab-kitab yang tergolong Tafsir bi al- Ra’yi.
Sedangkan kitab-kitab yang tergolong kepada Tafsir bi al- Ra’yi, antara lain :
v  Al- Bahr al- Muhit : Muhammad al- ‘Andalusi.
v  Ghar±’ib al- Qur’an wa Ragh±’ib al- Furqan : Nizamuddin an- Nisabur.
v  Ruh al- Mani fi Tafsir al- Qur’an al- ‘Adhim wa as- Sab’ al- Masani : Allamah al- Alusi.
Selanjutnya juga dikenal kitab-kitab Tafsir bi al- Ra’yi dari kalangan Mu’tazilah, seperti :
v  Tanzih al- Qur’an ‘an al- Mata’in : Al- Qadhi `Abdul Jabbar.
v  Amali asy- Syarif al- Murtada : ‘Abu al- Qasim `Ali at- °±hir.
v  Al- Kasysy±f ‘an ¦aq±’iq at- Tanzil wa ‘Uyun al- Aq±wil fi Wujud at- Tanzil : ‘Abu al- Q±sim Mahmud bin `Umar az- ªamakhsyari.
Di samping itu juga masih banyak sekali kitab-kitab tafsir dalam bidang tasawuf, filsafat dan hukum. Adapun yang khusus dalam bidang hukum, antara lain :
v  Al- Jami’ fi Ahkam al- Qur’an : Imam al- Qurtubi.
v  Ahkam al- Qur’an : ‘Ibnu `Arabi dan ‘Abu Bakar al- Jassas.
v  Raw±’i al- Bayan fi Tafsir al- Qur’an : Muhammad `Ali as- ¢h±b­ni.
v  Tafsir ayat al- Ahkam : Muhammad `Ali as- Sayyis.25



E. Penutup

Tafsir bi al-ra’yi dapat dipahami sebagai salah satu metode penafsiran Alquran dengan menggunakan rasio sebagai sumber dan tolak ukur. Dengan demikian tafsir ini disebut juga dengan tafsir ijtihadi, meskipun tentu saja tafsir bi al-ma’tsur juga layak mendapatkan nama ini.
Ada beberapa keistimewaan tafsir bi al-ra’yi yakni menyoal recentness atau kekinian hasil penafsiran tersebut, peluang isra’iliyyat, humanitas, dan variasinya.
Intrepretasi terhadap Alquran dengan menggunakan tafsir bil al-ra’yi akan terasa lebih pas dengan zaman sekarang bila dibandingkan dengan tafsir bi al-ma’tsur. Hal ini dapt dipahami bahwa memang akal akan selalu mengikuti zaman dan kondisinya, sementara sumber tafsir bi al-ma’tsur adalah statis, yang dinamis adalah intrepretasi terhadap sumbernya.
Tafsir bi al-ra’yi akan jauh dari seragam bila dibandingkan dengan tafsir bi al-ma’tsur yang relatif lebih seragam, karena sumbernya adalah sama.












DAFTAR PUSTAKA
al-Aridl, `Ali ¦asan. Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akrom. Jakarta: Rajawali Press, 1992.

al-D©ahab³y, Muhammad ¦usain. Al-Tafsir wa al-Mufassir. Kairo: Maktabah      Wahbah, 2000.

Ensiklopedi Islam,  Jilid. V. Jakarta:  Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999.


As-¢hab­ni, Muhammad `Ali. °ibyan Fi  ’Ulum Al-Qur’an. t.tp., 1998.

Ash-Shiddieq³y, M. Hasby. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/ Tafsir. Jakarta:      Bulan Bintang, 1978.

¢hih±b, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1994.

__________________,  Sejarah ‘Ulumul Qur’an. (ed). Azyumardi Azra, Cet. II. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

al-Qattan, Mann± Khalil. Mab±hit£ fi ‘Ulum al- Qur’an. Riyadh: Mansurat al-¦adit£, 1973.


[1]M. Quraish ¢hihab, Membumikan Alqur’an (Bandung : Mizan, 1994), h. 83.
[2]M. Hasb³ Ash-¢hiddieq³, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 185-186.
[3]Ali ¦asan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. A¥mad ‘Akr±m (Jakarta : Rajawali Press, 1992), h. 3.
21 M. Quraish shihab, Sejarah ‘Ulumul Qur’an. (ed). Azyumardi Azra, Cet. II (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h.. 177.

22Ibid.   
23Ensiklopedi Islam,  Jilid. V (Jakarta; Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999, h. 30.

24 Ibid, h. 31.

[4]Mann± al-Khal³l al-Qatt±n, Mab±hit£ fi Ulum  al-Qur’±n, (Riyadh: Mans­r±t al-¦adit£, 1973), h. 347.
[5] Muhammad `Ali As-¢habun³, °iby±n Fi `Ul­m al-Qur’±n (t.tp., 1998), h. 205.
[6] Muhammad ¦usa³n al-D©ahab³, Al-Tafsir wa al-Mufassir (Kairo : Maktabah Wahbah, 2000), h. 112.
25 Ibid..