TAFSIR BI
AL-RA’YI
Junianto Sitorus
A.
Pendahuluan.
Perkembangan hidup manusia mempunyai pengaruh yang
besar terhadap perkembangan akal pikirannya. Hal ini jelas mempunyai pengaruh
dalam pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Pada abad pertama Islam, para
ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan
sebagian para ulama bila ditanya mengenai satu ayat, mereka tidak memberikan
jawaban apapun.
Namun pada abad-abad berikutnya, sebagian besar
ulama berpendapat bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
selama ia memiliki syarat-syarat tertentu seperti : pengetahuan bahasa yang
mencakup Nahwu, ¢haraf, Balaghah,
juga Ilmu U¡hluddin ,Ilmu Qir±’ah,
Asb±b al- Nuzul, N±sikh- Manskh,
dan lain sebagainya.
Sejarah penafsiran Al-Qur’an dimulai dengan
menafsirkan ayat-ayatnya sesuai dengan hadist-hadist Rasulullah Saw, atau
pendapat para sahabat. Penafsiran demikian terus berkembang sehingga dengan
tidak disadari telah bercampur dengan hal-hal yang berbau Isr±iliyat (kisah-kisah yang bersumber
dari ahli kit±b yang umumnya tidak sejalan dengan kesucian agama atau pemikiran
yang sehat). Hal ini mengakibatkan sebagian ulama menolak penafsiran yang
menggambarkan pendapat-pendapat penulisnya atau menyatukan pendapat-pendapat
tersebut dengan hadis-hadis atau pendapat-pendapat para sahabat yang dianggap
benar.
Demikianlah hingga kemudian muncul beraneka corak
tafsir, ada yang berdasarkan nalar penulisnya saja, ada pula berdasarkan
riwayat-riwayat, ada pula yang menyatukan antara keduanya. Persoalan yang dibahaspun
bermacam-macam. Untuk membatasi bidang kajian ini, maka makalah ini akan
membahas tentang Tafsir bi al-Ra’yi, hal-hal yang berhubungan dan
ruanglingkupnya.
B. Pengertian Tafsir bi al-Ra’yi.
Tafsir menurut 'Ibn ¦ayy±n ialah suatu ilmu yang
membahas cara menuturkan/ membunyikan lafad§-lafad§ Al-Qur’an, Madlul-Madlulnya baik mengenai kata
tunggal maupun mengenai kata tarkib
dan makna-maknanya yang digantungkan oleh keadaan susunan dan beberapa
kesempurnaan bagi yang demikian seperti, N±sakh, Asbab al-Nuzul, kisah yang mengatakan apa yang tidak terang
di dalam Al-Qur’an dan lain-lain yang mempunyai hubungan erat dengannya.
Menurut ‘Ali
¦asan al-‘Aridl tafsir ialah ilmu
yang membahas tentang cara pengucapan lafad§-lafad§ Al-qur’an, makna-makna yang
ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun
serta makna-makna yang dimungkinkan ketika dalam keadaan tersusun.
Tafsir
bi al-Ra’yi (penafsiran dengan rasio) adalah penafsiran yang dilakukan dengan
menetapkan rasio sebagai titik tolak. Corak ini dinamakan juga dengan al-
Tafsir bi al-Ijtih±di, yaitu penafsiran yang menggunakan ijtihad. Karena
penafsiran seperti ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir.
Perbedaan-perbedaan antara satu mufassir dengan mufassir lain lebih mungkin
terjadi, dibandingkan al- Tafsir bi al-Ma’t£r. Karena alasan tersebut,
beberapa ulama menolak penafsiran dengan corak ini, dan menyebutnya sebagai al-
Tafsir bi al- Hawa (tafsir atas dasar hawa nafsu). Namun, banyak para ulama
yang dapat menerima tafsir corak ini juga, tapi dengan syarat-syarat tertentu
pula. Penerimaan mereka didasarkan atas ayat-ayat al-qur’an sendiri, yang
menurut mereka , memang menganjurkan manusia untuk memikirkan dan memahami
kandungannya. Adapun ayat-ayat yang mendukung kebolehan tafsir corak ini,
sebagaimana yang dikutip ¢hubhi al-¢h±lih, adalah sebagai berikut.
أفلا
يتد برون القران ام على قلوب أقفالها. } سورة
المحمد: 24{
Artinya
: “Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci”.
(Q.S. Muhammad: 24).
كتاب أنزلنه إليك مبارك ليد بروا اياته وليتذ كر أولوا ا
لباب. }
سورة الص: 29{
Artinya:
“Ini adalah kitab yang kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, agar mereka
memperhatikan ayat-ayat dan orang-orang yang mempunyai pikiran dapat memperoleh
pelajaran darinya”. (Q.S. as-Shad: 29).
Perlu
dijelaskan, meskipun mufassir dalam hal ini menggunakan pemikiran, namun ia
tidaklah bebas mutlak. Mufassir harus bertolak dari pemahamannya terhadap
nilai-nilai yang terkandung dalam al- Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Akan tetapi
pemahaman tersebut tidak cukup untuk menjamin penafsiran cara ini. Karena itu, dalam
menggunakan corak tafsir ini diberlakukan syarat-syarat mufassir dan
kaedah-kaedah penafsiran yang ketat, antara lain:
1. Memiliki pengetahuan bahasa Arab dan segala
seluk beluknya.
2. Menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an.
3.
Menguasai ilmu- ilmu yang berhubungan dengan
ilmu-ilmu al-Qur’an, seperti hadis, Ushul fiqh dan lain sebagainya.
4. Beraqidah yang benar.
5.
Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam.
6.
Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok
bahasan ayat yang ditafsirkan.
Secara
umum tafsir dibagi kepada dua, yaitu tafsir naqli dan tafsir ‘aqli. Dari dua
jenis tafsir tersebut yang saling ketemu itu timbulllah tafsir yang didasarkan
pada pendapat atau opini. Jenis tafsir ini dilarang muthlak oleh sementara
ulama. Larangan tersebut berdasarkan pada sebuah hadis; “Barang siapa yang
berbicara mengenai al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri, walaupun ternyata
benar, maka ia tetap telah berbuat sesuatu yang keliru”. Sedangkan menurut
pemahaman penulis, yang dimaksud “pendapat”
dalam hadis tersebut ialah perkataan yang diucapkan tanpa dalil yang sah
menurut syara’. Orang yang berbuat demikian itu tidak menempuh jalan yang lurus
dalam menafsirkan al-Qur’an. Akan tetapi jika orang menafsirkan al-Qur’an
berdasarkan dalil-dalil yang sah menurut syara’, tentu pendapatnya patut dipuji
dan sama sekali tidak membahayakan agama.
Pada
periode ini bermunculan kitab-kitab tafsir dengan berbagai pendekatan seperti
pendekatan bahasa, ilmu pengetahuan, fiqh, sejarah, tasawuf dan teologi,untuk
dapat menerima penafsiran melalui tafsir bi al-ra’yi, Az-ªarkasy³ mengemukakan
sekurang kurangnya ada empat (4) syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
C.
Perbedaan Tafsir Bi al-Ra’yi
dengan Tafsir Bi al-Ma’tsur.
Bila
tafsir bi al-ra’yi adalah seperti yang diuraikan di atas yakni penafsiran
dengan menggunakan rasion sebagai titik tolak penafsiran, yang kemudian juga
disebut dengan tafsir ijtihadi karena penafsiran tersebut merupakan hasil
ijtihad seseorang, maka Tafsir bi
al-Ma’t£r adalah:
هو
الذى يعتمد على صحيح المنقول بالمراتب التي ذ كرت سابقا في شروط المفسر من تفسر
القران بالقران, او بالسنة أ نها جاءت مبينة لكتاب الله. او بما روي عن الصحاب نهم
اعلم الناس لكتاب الله. او بماقاله كبار التابعين أنهم
تلقوا ذ لك غالبا عن الصحابة.
Artinya : “Tafsir bi al-ma’t£r ialah tafsir yang berpegang kepada riw±yat
yang ¡hah³h, yaitu menafsirkan Al-qur’an dengan Al-qur’an, atau dengan sunnah
karena ia berfungsi menjelaskan kit±bull±h,
atau dengan perkataan para ¡ahabat karena merekalah yang paling mengetahui kit±bull±h atau dengan apa yang
dikatakan oleh tokoh-tokoh besar t±bi’³n
karena pada umumnya mereka menerima dari para ¡ahabat”.
Sedangkan menurut Muhammad ‘Ali ash-¢h±buni, tafsir bi al-ma’t£r ialah rangkaian keterangan yang terdapat dalam
Al-qur’±n dan al-sunnah atau kata-kata ¡ahabat sebagai keterangan/ penjelasan
maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al-qur’an dengan as-sunnah. Dengan
demikian tafsir bi al-ma’t£r
adalah tafsir Al-qur’an dengan Al-qur’an atau penafsiran Al-qur’an dengan as-sunnah.
Tafsir bi al-ma’t£r
adalah tafsir yang mencakup penjelasan terperinci dari sebuah ayat dengan ayat
lain dalam Al-qur’an (tafsir al-qur’an bi
al-qur’an), keterangan yang berasal dari Raslull±h Saw (tafsir al-qur’an bi as-sunnah), sahabat
dan t±bi’³n berkenaan dengan
penjelasan maksud Allah Swt yang terdapat dalam nash-nash kitab-Nya yang mulia.
Dari penjelasan diatas dapatlah dipahami bahwasanya tafsir bi al-ma’t£r adalah suatu usaha
untuk memahami ayat-ayat Al-qur’±n dengan Al-qur’an atau as-sunnah Raslull±h
Saw, dan sebagian ulama berpendapat bahwa menjelaskan Al-qur’an dengan
perkataan para ¡ahabat bahkan t±bi’³n masih
termasuk tafsir bi al-ma’t£r bahkan
mereka memberi alasan karena para t±bi’³n
langsung menerimanya dari para ¡ahabat, dan tafsir
bi al-ma’t£r ini adalah merupakan jalan yang paling aman dari kesesatan
dalam memahami Al-qur’an.
Beberapa perbedaan yang mendasar dari kedua corak
penafsiran ini adala:
1. Tafsir
bi al-ma’tsur pada umumnya seragam, karena sumber yang dipakai adalah sama,
yakni Alquran, Sunnah, perkataan Sahabat dan seterusnya. Sedangkan tafsir bi
al-ra’yi akan jauh dari seragam, keseragamannya hanya akan terlihat dalam
menafsirkan kata-kata yang sudah sangat jelas tunjukannya, sedangkan pada
hal-hal lain, maka penafsiran dengan rasio ini akan terpengaruh dengan cara
seseorang berfikir, menganalisa, tempat, masa, kondisi dan situasi.
2. Tafsir
bi al-ra’yi lebih tertutup peluangnya untuk tercampur dengan israiliyyat, karena
tafsir ini tidak akan memakai sumber yang tidak jelas sumbernya dan yang tidak
masuk akal. Sementara peluang itu relatif lebih besar pada tafsir bi
al-ma’tsur.
3. Tafsir
bi al-ra’yi terlihat lebih dapat dipahami bila dikaitkan dengan masa ke-kinia,
karena tafsir ini akan terus berubah sesuai dengan corak pemikiran dan zaman,
sementara tafsir bi al-ma’tsur, karena sumbernya sudah tetap, maka sifatnya
akan statis, intrepretasi terhadap sumber-sumber tafsirnyalah yang kemudian
bisa berubah-ubah.
E. Penutup
Tafsir bi al-ra’yi dapat dipahami sebagai salah satu
metode penafsiran Alquran dengan menggunakan rasio sebagai sumber dan tolak
ukur. Dengan demikian tafsir ini disebut juga dengan tafsir ijtihadi, meskipun
tentu saja tafsir bi al-ma’tsur juga layak mendapatkan nama ini.
Ada beberapa keistimewaan tafsir bi al-ra’yi yakni
menyoal recentness atau kekinian hasil penafsiran tersebut, peluang isra’iliyyat,
humanitas, dan variasinya.
Intrepretasi terhadap Alquran dengan menggunakan
tafsir bil al-ra’yi akan terasa lebih pas dengan zaman sekarang bila
dibandingkan dengan tafsir bi al-ma’tsur. Hal ini dapt dipahami bahwa memang
akal akan selalu mengikuti zaman dan kondisinya, sementara sumber tafsir bi
al-ma’tsur adalah statis, yang dinamis adalah intrepretasi terhadap sumbernya.
Tafsir bi al-ra’yi akan jauh dari seragam bila
dibandingkan dengan tafsir bi al-ma’tsur yang relatif lebih seragam, karena
sumbernya adalah sama.
DAFTAR PUSTAKA
al-Aridl, `Ali ¦asan. Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akrom. Jakarta: Rajawali
Press, 1992.
al-D©ahab³y,
Muhammad ¦usain. Al-Tafsir wa
al-Mufassir. Kairo: Maktabah
Wahbah, 2000.
As-¢habni,
Muhammad `Ali.
°ibyan Fi ’Ulum Al-Qur’an. t.tp.,
1998.
Ash-Shiddieq³y, M. Hasby. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/ Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
¢hih±b,
M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung:
Mizan, 1994.
al-Qattan, Mann± Khalil. Mab±hit£ fi ‘Ulum al- Qur’an. Riyadh: Mansurat al-¦adit£, 1973.