Perkembangan Islam
Abad Ke 21
A.
Pendahuluan.
Dalam menganalisa dinamika dan perkembangan Islam di
setiap tahap perkembangannya, kita tidak boleh mengacuhkan kebenaran bahwa
setiap dimanmika selalu berhubungan dan dipengaruhi oleh dinamika sebelumnya. Artinya
rantai sejarah adalah mutlak mempengaruhi dinamika suatu hal termasuk Islam.
Bila kita melihat sekilas kembali kepada masa-masa
keemasan Islam, kita akan melihat bahwa hal tersebut merupakan dampak dari
sejarah yang terjadi pada masa sebelumnya. Hal serupa juga terjadi ketika Islam
mengalami keterpurukan, keterbelakangan pengetahuan, mobilitas dan moral ketika
masyarakat-masyarakat muslim di negara-negara Asia
dijajah oleh negara-negara Barat.
Uraian tentang perkembangan Islam pada Abad 21
merupakan rangkaian sejarah yang tidak akan terlepas dari perkembangan Islam
pada abad-abad sebelumnya, abad yang sering dinamakan dengan modernisasi,
pembaharuan dan sebagainya.
Apa yang terjadi dalam pada Islam pada abad 21
merupakan dampak dari segala hal yang sangat komplek yang terjadi pada abad
sebelumnya. Munculnya isu-isu sekularisme, terorisme dan sebagainya yang ramai
diperbincangkan pada abad 21 merupakan rangkaian peristiwa yang tidak bisa
dilihat dari abad 21 saja.
Artinya apa yang terjadi pada abad 21 merupakan
rangkaian peristiwa yang tidak bisa dilepaskan dari abad-abad sebelumnya. Namun
demikian, adalah menarik untuk mengkaji dinamika Islam pada abad 21.
Makalah ini akan mencoba mengupas dinamika dan
perkembangan Islam pada abad 21 terkait dengan dinamika sosial, agama, ekonomi,
politik dan kebudayaan.
B.
Islam dan Isu Globalisasi.
|
|
C.
Dinamika Sosial Islam.
- Agama.
Berbicara tentang dinamika keagamaan yang muncul dan
mencuat dalam masyarakat muslim khususnya di Indonesia, kita tidak bisa
mengindahkan fenomena-fenomena munculnya nabi-nabi palsu. Fenomena-fenomena
kemunculan oknum yang mengaku dirinya sebagai nabi sampai saat ini hanya
terdengar di Indonesia
Orang Indonesia yg mengaku dirinya
sebagai nabi adalah sebagai berikut:[1]
1. Ali Taetang, berasal dari Banggai pada
tahun 1956 ali taetang mendirikan aliran alian Imamullah. Aliran ini didirikan
Haji Ali Taetang Likabu di Dusun Sampekonan, Kecamatan Liang, Kabupaten Banggai
Kepulauan, Sulawesi Tengah. Tak ada data pasti jumlah pengikutnya tetapi diduga
ribuan orang menjadi anggotanya dan tersebar di seluruh Indonesia. Sebelumnya di daerah ini
masyarakat menganut animisme, dinamisme, dan mistik. Secara umum ajaran Alian
Imamullah sama dengan Islam tetapi paham ini mempunyai dua penyimpangan pokok
yakni kepercayaan terbukanya pintu kenabian setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW
sehingga Ali Taetang menyebut diri nabi. Kedua, dia mengubah syahadat rasul.
2. Zikrullah Aulia Allah, berasal dari
Sulawesi Tengah. Zikrullah Anak kedua dari istri kedua Taetang ini mengaku
mendapat wahyu tentang kenabian melalui mimpi. Aliran Zikrullah Aulia Allah
baru berdiri pada 29 Agustus 2004 lalu. Aliran ini merupakan versi terbaru dari
aliran Alian Imamullah yang didirikan ayahnya, Ali Taetang Likabu pada 1970-an.
Pada saat pendirian aliran itu, Zikrullah mengumumkan kenabiannya di atas
mimbar Masjid Barokah, Dusun Sampekonan, Desa Labibi, Kecamatan Liang,
Kabupaten Banggai Kepulauan. Saat itu, Zikrullah mengaku telah diangkat Allah
menjadi nabi meneruskan almarhum ayahnya Ali Taetang Likabu yang juga mengaku
sebagai nabi.
3. Dedi Mulyana alias Eyang Ended, berasal
dari Banten. Nabi palsu ini sebenarnya malah dukun cabul. ajaran eyang model
ajaran agama yang memastikan tentang kiamat dan membolehkan seks bebas.
4. Lia Eden,dengan sekte kerajaan Tuhan
berasal dari Jakarta.
Lia yang pintar menggubah puisi mengaku mendapat wahyu dari malaikat Jibril.
5. Ahmad Moshaddeq berasal dari Jakarta
mengaku dirinya mendapat perintah dari Allah untuk menyatakan kerasulannya dan
memurnikan ajaran Musa, Isa dan Muhammad atau Din Al-Islam melalui mimpi
setelah bertapa selama 40 hari 40 malam di salah satu villanya di Gunung
Bunder, Bogor pada 23 Juli 2006.
Fenomena-fenomena munculnya nabi palsu ini
menunjukkan betapa terbelakangnya pengetahuan keagamaan umat Islam. Selain itu,
fenomena ini juga menunjukkan adanya kerinduan tokoh sentral dalam Islam yang
mampu membawa perubahan yang signifikan bagi kehidupan ummat Muslim.
Selain fenomena nabi palsu, pertikaian aliran-aliran
dalam Islam juga masih sering terjadi. Di Iran, kontak fisik antara penganut
Syi’ah dan Sunni masih terdengar di berita hingga sekarang ini.
- Politik.
Berbicara hubungan internasional seharusnya berbicara
tentang hubungan antar negara, baik dalam kebudayaan, ekonomi, politik dan
sebagainya. Akan tetapi, memang selalu terdapat penekanan-penekanan bahwa dalam
hubungan negara-negara Eropa dengan negara-negara selain Barat yang dihuni oleh
mayoritas masyarakat Muslim merupakan hubungan antara Barat dengan Islam, bukan
hubungan negara dengan negara. Setidaknya begitulah yang ada di benak para
sarjana muslim.
Ketegangan hubungan Islam dan Barat.
Ketika kita mencermati keseluruhan sisi konfrontasi antara Islam
dan Kristen pada Abad pertengahan, menjadi jelas buat kita bahwa pengaruh Islam
atas dunia Kristen Eropa lebih besar ketimbang yang selama ini kita sadari.
Bersama-sama Islam, Eropa barat tidak saja menikmati produk-produk material dan
temuan-temuan teknologi: Islam bukan saja mendorong tumbuhnya intelektualisme
Eropa, dalam lapangan-lapangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Di samping itu
Islam telah mendorong Eropa untuk membentuk citra baru mengenai dirinya
sendiri.[2]
Walaupun mempunyai akar teologis yang sama dan terjadi interaksi
selama berabad-abad, hubungan Islam dengan Barat seringkali ditandai dengan
saling tidak tahu, saling memberi stereotype, menghina dan konflik.[3]
Invasi kerajaan Islam yang berlangsung begitu cepat di wilayah
Eropa -terutama Spanyol, Italia, Sisilia, dan Mediterania, yang disertai perkembangan
pesat peradaban Islam-menimbulkan bahaya langsung di pihak Kristen di seluruh
dunia, baik secara teologis maupun politis. Seperti yang diamati oleh Maxim
Rodinson, “kaum Muslim merupakan ancaman terhadap Kristen Barat jauh sebelum
mererka sendiri jadi masalah.[4]
Persamaan teologis yang ada antara Kristen, Yahudi (Yudaisme),
dan Islam bisa berwajah ganda: satu sisi bisa menjadi pendorong integrasi, tapi
di sisi lain bisa menimbulkan benturan-benturan, karena masing-masing dari
mereka saling mengklaim bahwa agamanyalah yang paling benar di hadapan Tuhan,
sementara yang lainnya sudah mengalami penyelewengan.
Ketegangan yang paling menonjol dan mempunyai dampak yang
berlarut-larut bagi hubungan Islam-Barat adalah Perang Salib. Bagi kaum Muslim
misalnya, kenangan mengenai Perang Salib itu tetap hidup dan menjadi
representasi Kristen militan yang menendai awal agresi dan imperialisme Barat
Kristen, kenangan yang hidup akan permusuhan awal Kristen terhadap Islam.[5]
Ketegangan hubungan ini kemudian diperparah oleh situasi konflik
di kawasan Timur Tengah. Dalam pertikaian antara negara-negara Arab melawan
Israel pada tahun 1968, Barat secara kasatmata memberikan dukungan terhadap
Israel, suatu langkah yang semakin menumbuhkan kebencian Arab (Islam) terhadap
Barat.
Dalam konflik Israel-Palestina, Amerika dan sekutu-sekutunya
yang sebagian besar negara Barat, cenderung memperlakukan Palestina secara
tidak adil. Politik standar ganda Amerika, di satu sisi secara gigih
menyuarakan demokrasi dan penegakkan hak-hak asasi manusia (HAM), tapi di sisi
lain memberi dukungan agresi Israel
terdapa Palestina, telah memunculkan kebencian di negara-negara Islam.
Kebencian ini tak jarang diekspresikan dengan tindakan anarkis, atau bahkan
teror dan ancaman gangguan keamanan terhadap kepentingan AS dan negara Barat
lain.
Artinya, tindakan teror tersebut, kalaulah benar pelakunya
adalah para militan Islam, pada hakikatnya tidak terkait dengan doktrin Islam,
melainkan lebih karena dampak dari kebijakan politik global yang diwakili AS
dan sekutunya yang tidak adil. Dominasi negara adikuasa yang tak terkontrol dan
mengabaikan hukum internasional telah berdampak pada lahirnya mekanisme kontrol
yang inkonvensional, antara lain dalam bentuk kekerasan dan teror.
Kesimpulan itu sejalan dengan pendapat ilmuwan kelahiran
Norwegia yang banyak mendapatkan penghargaan di bidang kemanusiaan dan
perdamaian, Johan Galtung. Meskipun dunia saat ini ditandai dengan munculnya
aliran-aliran fundamentalisme, namun, menurut Galtung, teror-teror dan
kekerasan yang menonjol belakangan, -seperti Teror 11 September 2001 dan
lain-lain--terkait dengan globalisasi atau kebijakan luar negeri AS.
Dibandingkan serangan yang dilakukan teroris, kata Galtung, terorisme negara
yang dilakukan AS jauh lebih berbahaya karena menggabungkan fundamentalisme
agama dan fundamentalisme pasar. Serangan AS terhadap Afghanistan memenuhi kriteria
tindakan teroris. Akan halnya teror Bali,
Galtung melihat kemungkinan terkait dengan fundamentalisme agama, tapi, kata
dia, belum tentu pelakunya fundamentalis Islam.[6]
Di sisi lain, masih banyak juga kalangan umat Islam yang
beranggapan bahwa sampai saat ini Perang Salib belum berakhir. Perang yang
dilakukan negara-negara Barat melawan Irak, kekerasan yang dilakukan pada kaum
muslim di Bosnia dan Chechnya, penerapan sanksi terhadap Libya, memberikan
kesan yang kuat pada umat Islam bahwa Perang Salib masih berlangsung.
Dengan dalih bahwa Amerika adalah musuh Islam, Osama bin Laden,
dalam pidatonya yang disiarkan al-Jazira Minggu malam (7 Oktober
2001), menyatakan syukur alhamdulillah atas tindakan teror yang
meluluhlantakkan menara kembar World Trade Center (WTC) di Manhattan.
Namun demikian, menurut Osama, apa yang Amerika rasakan sekarang
(setelah peristiwa 11 September 2001), tidaklah berarti dibandingkan dengan apa
yang dirasakan umat Islam selama bertahun-tahun. Bangsa-bangsa Islam masih
merasakan penghinaan dan keperihan selama 80 tahun lamanya. Putra-putri mereka
dibunuh, darahnya ditumpahkan, pemukimannya diserang, dengan tanpa seorang pun
mendengarnya, tak seorang pun memperhatikannya. Jutaan anak di Irak, Pelestina, Bosnia,
Chechnya,
dan lain-lain dibunuh tanpa dosa. Tank-tank
Israel yang
didukung AS mencaplok Palestina -di Jenin, Ramallah, Rafah, Bait Jalla, dan
tempat-tempat lainnya di wilayah Islam.[7]
Karena itu, Presiden
AS, George Walker Bush, pun
-entah disengaja atau tidak, atau lantaran merespon pernyataan
Osama--menyatakan bahwa perang melawan teroris merupakan crusades
(Perang Salib).
Pandangan serta sentimen negatif antara kedua pihak menyebabkan
rasa permusuhan yang terpendam. Implikasi dari kondisi semacam ini akan
melahirkan prasangka buruk yang sering menjadi hambatan bagi perbaikan hubungan
di antara keduanya.
Meskipun agama Islam menurut Al-Quran mengajarkan tentang
dirinya sebagai kelanjutan dan perkembangan agama Kristen, kaum Kristen tidak
dapat menerima, dan tetap memandang Islam sebagai agama baru dan tampil sebagai
tantangan kepada Kristen. Demikian juga sbaliknya, meskipun Kristen -juga
Yahudi--disebut dalam Al-Quran sebagai “Ahli Kitab” yang memeluk agama
nabi-nabi terdahulu, umat Islam menganggap kedua agama itu telah diselewengkan
dan sudah jauh dari perspektif agama yang hanif sebagaimana disebutkan
Al-Quran.
Sejatinya, ketika Islam berada dalam masa-masa keemasan pada
abad ke-8, populasi Islam dan Kristen Eropa relatif seimbang, masing-masing
memiliki sekitar 30 juta penduduk. Bahkan kota-kota di negara Islam saat itu
menjadi pusat perekonomian dunia. Waktu itu ada sekitar tigabelas kota Islam dengan lebih dari 50.000 penduduknya, termasuk
Iskandaria, Bagdad, Kairo dan Mekah. Sedangkan
benua Eropa yang relatif maju hanyalah di wilayah Barat, dan itupun mereka cuma
punya kota
Roma.
Tak lama setelah Perang Salib berlalu, Eropa sekali lagi harus
berhadapan dengan ancaman kekuatan kaum Muslim yang berupa kerajaan Utsmaniyah.
Kerajaan ini merupakan salah satu di antara tiga kesultanan besar Muslim abad
pertengahan: Utsmaniyah, Safawiyah di Iran, dan Mogul di India.
Setelah merebut Konstantinopel pada tahun 1453, Utsmaniyah mulai
membangun negara besar yang benar-bernar terorganisasi, hierarkis, dan efisien.
Ibukota negaranya, Istambul, berpenduduk kurang lebioh 700.000, dua kali lebih
besar dari penduduk negara lawan, Eropa. Istambul menjadi pusat kekuasaan dan
kebudayaan internasional.
Dari Konstantinopel, kerajaan Utsmaniyah terus bergerak
menyempurnakan ekspansi atas wilayah Balkan. Dalam setengah abad kemudian
Ustmaniyah telah menguasai Yunani, Bosnia, Herzegovina,
dan Albania.
Kesuksesan Utsmaniyah ini tak lepas dari dukungan politik dari budak-budak
kewargaan Bizantium, dan tokoh-tokoh Kristen yang tergabung dalam tugas
kemiliteran dan administrasi imperium Ustmaniyah. Kerajaan Ustmaniyah juga
melindungi Gereja Ortodoks Yunani dengan konsesi mendapatkan dukungan ndari
masyarakat Balkan.[8]
Sayangnya, dalam perjalanan abad-abad berikutnya, disebabkan
karena kekalahan dan kehancuran pusat-pusat peradaban Islam, Eropa kembali
mendominasi seraya mengembangkan teknologi seperti alat pembajakan modern bagi
tekstur tanah yang keras hutan-hutan kawasan Utara benua itu. Jumlah
penduduknya pun tumbuh pesat setelah abad ke-10, hingga mencapai sekitar 100
juta pada awal abad ke-17.
Sementara di wilayah Islam, telah terjadi fenomena sebaliknya.
Secara geografis, mereka dibatasi dan dikelilingi oleh kegersangan dan
keterbatasan sumber daya alam, seperti hutan untuk kebutuhan akan kayu. Jumlah
populasi Islam tidak mengalami perkembangan yang berarti hingga berabad-abad.
Pada saat Barat mengalami kemajuan tajam pada akhir abad ke-19 dengan kemajuan
revolusi industri dan teknologi yang dijalankannya, kawasan Islam masih belum
beranjak dari derita keterbelakangannya.
Ada yang berpendapat bahwa awal mula kesulitan yang melilit
masyarakat Islam untuk berkembang adalah dikarenakan Islam tidak dilibatkan
dalam membangun rute perjalanan laut Afrika hingga Asia, khususnya oleh pelayar
Portugis Vasco da Gama, pada akhir abad le-15. Waktu itu da Gama berupaya
menyatukan Eropa dan Asia melalui perdagangan
lewat jalur samudera yang seluruhnya mengambil jalan pintas rute-rute Jalur
Sutera dan Laut Merah Asia Tengah serta Timur Tengah.
Kesulitan semakin mencekik setelah usaha kontrol yang dilakukan
Islam terhadap perdagangan samudera Hindia akhirnya jatuh juga pada kekuasaan
angkatan laut Eropa yang tangguh. Dan upaya perbaikan perdagangan pada saat
yang sama yang dilakukan Islam atas Terusan Suez melalui Laut Merah pada 1869 sudah
sangat terlambat. Eropa saat itu telah menang dan akan terus mengontrol Terusan
Suez dan perdagangan-perdagangan jalur laut serupa melalui pendudukan militer
dan kontrol finansial.
Pada akhir abad ke-19, saat keruntuhan akhir Kerajaan Utsmaniyah
di Turki, Eropa memiliki sumber daya alam yang relatif melimpah: batubara,
gas-air, kayu, dan biji besi. Sedangkan negara-negara Islam hanya memiliki
sedikit dari stok kebutuhan abad ke-19 tersebut untuk menyokong
industrialisasi. Sementara penemuan ladang-ladang minyak di negara-negara Islam
baru dieksplorasi setelah Eropa telah menggenggam kontrol kolonial. Maka tak
perlu disesali jika pada abad ke-20 negara-negara Islam telah kehilangan
kontrol atas rute-rute perdagangan, komoditas-komoditas primer seperti minyak,
dan bahkan kedaulatan mereka sendiri di banyak wilayah. Negara-negara Islam
secara sempurna berada di bawah kontrol Barat.
Kekalahan politik umat Islam yang berdampak pada hubungan
Islam-Barat yang tak seimbang, telah mendatangkan blessing in disguise (rahmat
terselubung) berupas tumbuhnya kesadaran untuk kembali mengembangkan agamanya
melalui pengembangan budaya dan ilmu pengetahun. Maka belakangan ini telah
muncul pusat-pusat Islam di berbagai negara-negara Barat.
Pusat-pusat Islam, ditambah migrasi sejumlah kaum Muslim ke
negara-negara Barat, dalam beberapa tahun terakhir, telah mendorong tumbuhnya
populasi Islam di berbagai negara Eropa sehingga Islam sudah berkembang menjadi
agama terbesar kedua setelah Kristen dan menjadi agama dengan kemungkinan
perkembangan terbesar. Di negeri Belanda yang berpenduduk sekitar 15 juta jiwa,
misalnya, dalam waktu 10 tahun ke depan diperkirakan jumlah kaum Muslim sudah
akan menyamai jumlah penganut agama Kristen.
Perkembangan positif dari populasi Islam ini, telah memunculkan
upaya-upaya dialog yang konstruktif antara Islam dan Barat. Di negara-negara
Eropa, dan juga di Amerika, dialog antara Islam dan Barat terus bergulir dalam
berbagai format. Substansinya tetap, mencari titik-titik temu di antara dua
peradaban besar itu, agar para pendukungnya dapat terus bergandengan tangan dan
bekerja sama untuk meraih masa depan yang lebih cemerlang.
Baik Islam maupun Barat tampaknya sudah menyadari bahwa ekspansi
militer, sebagaimana yang dilakukan imperium Islam pada abad pertengahan, dan
oleh Barat terhadap negeri-negeri Muslim pada abad ke-19 dan ke-20, telah
mewariskan dendam kesumat yang berkepanjangan. Dan, bangsa-bangsa Barat
sekarang ini, tentunya tak mau negeri-negeri mereka yang makmur kembali
bersimbah darah gara-gara perang bernuansa ras dan agama, seperti yang kini
masih terjadi di berbagai tempat lain di dunia, termasuk di Indonesia.
Untuk mencegah meluasnya kemungkinan buruk itu, sekarang ini
telah bermunculan lembaga-lembaga di luar sektor negara yang bertujuan mebangun
dialog antar-peradaban. Di Indonesia misalnya, lembaga-lembaga seperti
International Center for Islam and Pluralism (ICIP), Indonesian Conference of
Religious and Peace (ICRP), Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA), Dialog Antar
Iman (DIAN), Center for Moderate Muslim (CMM), dan Maarif Institute for Culture
and Humanity, yang masing-masing berupaya mengambangkan pemahaman dan peradaban
Islam yang ramah dan toleran, diharapkan ikut memberi andil yang signifikan
dalam membangun kehidupan bersama yang damai, termasuk dalam hal hubungan Islam
dan Barat.
Terorisme
Tidak ada istilah yang serumit
“terorisme”. Istilah tersebut bukan sekadar istilah biasa, melainkan wacana
baru yang ramai diperbincangkan khalayak dunia dan mempunyai impilikasi besar
bagi tatanan politik global. Terorisme bukan sekadar diskursus, akan tetapi
sebuah gerakan global yang hinggap di mana pun dan kapan pun.
Bila mengkaji tentang perkembangan politik
Islam, khususnya dengan hubungannya dengan negara-negara Barat, maka isu
terorisme adalah salah satu isu yang paling menarik. Isu terorisme selalu
menjadi alasan negara-negara Barat untuk menyudutkan negara-negara atau
kelompok-kelompok Islam demi kemananan dunia.
Saat ini, di mata politik negara Amerika
Serikat, Islam identik dengan terorisme. Hegemoni Amerika dalam mengopinikan
Islam telah membawa dampak yang sangat besar terhadap Islam.
Tampaknya, lemahnya sikap politik
negara-negara muslim telah mendorong beberapa pihak seperti Osamah, Abu Hamzah
dan sebagainya untuk melakukan aksi perlawanan atas perlakuan negara Barat
terhadap negara-negara Islam dengan kekerasan. Perlawanan yang dilakukan
beberapa kelompok ini memang cukup signifikan. Ada ratusan peristiwa
“terorisme” yang umumnya ditujukan untuk melawan sikap politik negara-negara
Barat, khususnya Amerika, mulai dari serangan terhadap WTC, Pentagon, pemukiman
pekerja minyak di Arab Saudi, kedubes-kedubes dan sebagainya.
Islam pada abad 21 harus menghadapi
streotip “teroris” yang disandangkan pada dirinya. Streotip ini memang sangat
merugikan bagi perkembangan Islam. Serangan Amerika terhadap Afganistan
contohnya, yang beralasan untuk memberantas teroris.
Terorisme kian mencuat ke permukaan,
tatkala gedung pencakar langit, World Trade Center (WTC) dan gedung Pentagon, New York, hancur-lebur
diserang sebuah kelompok, yang sampai detik ini masih misterius. Jaringan
internasional al-Qaedah sering disebut-disebut sebagai aktor di balik aksi
penyerangan tersebut. Pada titik ini, terorisme kian dipertanyakan dan
dipersoalkan.
Pengeboman bus turis asing di Kairo,
penembakan para turis di Luxor, Mesir, pengeboman kedubes AS di Kenya dan
insiden yang serupa merupakan salah satu bentuk aksi-aksi terorisme. Pada titik
ini, terorisme mendapatkan sorotan serius dari masyarakat dunia, bahwa
cara-cara yang ditempuh para teroris dapat mewujudkan instabilitas, kekacauan
dan kegelisahan yang berkepanjangan. Masyarakat senantiasa dihantui perasaan
was-was dan tidak aman.[9]
- Ekonomi.
Sebagai salah satu fondasi kehidupan masyarakat,
ekonomi Barat juga mendominasi dunia perekonomian Islam. Pusat-pusat industri
terbesar di dunia tidak ditemukan di negara-negara yang dihuni masyarakat Islam.
Bahkan industri-industri besar yang terdapat di negara-negara Muslim tidak
lepas dari campur tangan orang-orang Eropa. Lebih menyedihkan lagi, industri
perminyakan yang seharusnya dikuasai penuh oleh masyarakat Islam ternyata
tunduk di bawah kebijakan perekonomian Barat. Di Arab Saudi, terdapat sebuah
pemukiman yang dikhususkan untuk enginer perminyakan yang berasal dari Eropa. Di
Indonesia, tambang Emas terbesar dimiliki oleh orang-orang Amerika.
Pada tataran yang lebih mikro, daya beli masyarakat
Islam masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan masyarakat Eropa. Standar
kehidupan masyarakat muslim jauh di bawah standar kehidupan masyarakat Eropa.
Sekali lagi, salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah fakta bahwa
segala yang bercorak Barat laku dijual di pasaran.
- Pendidikan
Adalah susah untuk menjelaskan bagaimana dinamika
pendidikan Islam berkembang pada abad 21, kecuali hanya sebatas opini-opini,
karena abad 21 memang baru saja dimulai. Kita hanya bisa memperkirakan
bagaimana dinamika pendidikan Islam nantinya.
Namun dapat dikatakan bahwa apabila pendidikan Islam
hanya berkutat pada masalah romatisme kemenangan Islam pada masa lampau, maka
masyarakat muslim pada abad 21 tidak
akan jauh berbeda kondisinya dengan kondisi satu hingga dua abad silam. Di
lingkaran pendidikan Islam, kita sering mendapatkan kajian tentang bagaimana
konstribusi Islam atas kejaan Barat, tanpa memikirkan bagaimana sebaliknya. Pendidikan
Islam-layaknya sekarang ini-akan bercorak pendidikan masyarakat yang lebih maju
seperti pada masyarakat Eropa.
- Masyarakat Sosial
Salah satu akibat dari globalisasi adalah interaksi
budaya. Pertukaran budaya yang dibatasi oleh batas-batas negara merupakan salah
satu aspek yang sering dan bahkan lazim dalam hubungan dua kebudyaan yang
berbeda. Pada abad ke-20, Media massa secara sederhana telah menjadi alat
imperialisme kultural, yang sebelumnya dilakukan melalui interaksi perorangan
seperti melalui perdagangan, missi relijius, misi diplomatis dan perdagangan,
penaklukan, pembelian teroterial dan pemberian hadiah, juga akan membawa kultur
dominan kepada kultur minoritas di daerah tersebut. [10]
Dengan melihat ke belakang, seperti pada awal tahun
1972, diadakanlah conferrensi Unesco yang merupakan bentuk perhatian dalam hal
dominasi media Barat dalam membentuk opini dunia. Kemampuan media massa untuk
diserap oleh masyarakat merupakan salah satu bentuk hegemoni Barat di masa
lalu, hal ini diidentifikasi sebagai sumber utama dominasi kultural Barat atas
Timur yang ini kemudian mengkibatkan munculnya detoriorasi nilai kebudaayaan
dalam masyarakat dunia dunia ke-tiga.
Maraknya sajian-sajian budaya dan gaya hidup yang disajikan kepada masyarakat
muslim menyebabkan masyarakat Muslim pada abad 21 seolah kehilangan identitas
kebudayaannya. Media massa internasional yang
berhasil menyentuh masyarakat-masyarakat di lain benua tidak hanya menyajikan
politik akan tetapi juga gaya
hidup dan kebudayaan.
Pengaruh kebudayaan Barat terhadap Islam tidak
terbatas kepada kelompok-kelompok khusus masyarakat akan tetapi semua lapisan,
akademis, ulama, anak-anak, remaja maupun dewasa, dalam hal berkomunikasi,
bertindak, berpakaian dan berpikir.
Di dalam tataran masyarakat, identitas kebudayaan
Islam dikalahkan oleh identitas kebudayaan Barat. Konten-konten kebudayaan
Islami nampaknya hanya bisa bertahan dalam tingkat kehidupan personal
masyarakat Muslim atau paling tidak di dalam keluarga.Kebudayaan keTimuran yang
sering dikatakan sebagai kebudayaan Islam tidak mampu bersaing dan bertahan di
dalam diri masyarakat muslim.
D.
Penutup.
Kajian menarik dinamika perkembangan Islam abad 21
terfokus kepada beberapa isu yang mencuat dalam Islam dan di luar kalangan
Islam yang terkait dengannya, seperti isu terorisme, ketegangan hubungan antara
Islam dengan Barat, dominasi Barat atas Islam dalam ekonomi, politik dan
kebudayaan.
Isu penting lainnya yang menjadi sorotan pemerhati
perkembangan Islam khususnya dalam hubungannya dengan Barat adalah media
informasi yang menjadi sarana dan perluasan ide-ide dan kebudayaan Barat.
Tampaknya, Islam harus berusaha keras untuk bisa
menghadapi abad 21 yang penuh dengan tantangan teknologi dan informasi global
yang mengalir tidak seimbang.
Kegagalan ummat muslim dalam berkompetisi dengan
masyarakat lainnya merupakan dampak dari stagnasi pemikiran dan pergerakan
Islam pada abad-abad sebelumnya.
Daftar
Pustaka
Esposito, John L., Ancaman Islam Mitos Atau Realitas. Bandung: Mizan, 1994.
Kompas,
17 September 2002
Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies. New York: Cambridge
University Press, 1988.
Penulis, Deklarasi Perang Usamah Bin Ladin. Jakarta:
Ababil Press, 2001.
Watt, W. Montgomery, Islam dan Peradaban Dunia, Pengaruh
Islam atas Eropa Abad Pertengahan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama-MISSI, 1995.
Wilson, James R. dan Stan Le Roy Wilson, Media Massa
dan Kebudayaan Massa; Sebuah Pengantar, terj. Artikel
tidak dipublikasikan.
www.Indonesiaindonesia.com, “Nabi-Nabi Palsu”
Artikel internet didownload pada 10 April 2008.
www.Islamlib.org. “Islam dan Terorisme” artikel internet didownload pada
April 11, 2008.
[1] “Nabi-Nabi Palsu” Artikel
internet pada www.Indonesiaindonesia.com
didownload pada 10 April 2008.
[2] W.
Montgomery Watt, Islam
dan Peradaban Dunia, Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama-MISSI, 1995), hal. 125
[4] Ibid. h. 48.
[5] Ibid. h. 50
[8] Ira M. Lapidus, A
History of Islamic Societies (New York: Cambridge University Press,
1988), hal. 132.
[9] “Islam dan Terorisme” artikel internet pada www.Islamlib.org. didownload pada April 11,
2008.
[10] James R. Wilson
danStan Le Roy Wilson, Media Massa dan Kebudayaan Massa; Sebuah Pengantar, terj. Artikel
tidak dipublikasikan. H. 1.