PESANTREN : DINAMIKA DAN PERKEMBANGAN
Oleh : Junianto Sitorus
A.
Pendahuluan
Minimnya data tentang pesantren, baik berupa manuskrip
atau peninggalan sejarah lain yang menjelaskan tentang awal sejarah kebangunan
pesantren, menjadikan keeterangan-keterannga pesan yang berkenaan dengannya
bersifat sangat beragam. Namun demikian, kekurangan ini justru menjadi factor
determinan bagi terus dijadikannya sejarah pesantren sebagai bahan kajian yang
tidak pernah kering. Disamping itu minimnya catatatan sejarah pesantren ini
pula kemudian menjadikan alasan tersendiri bagi dilanjutkannya penelusuraan
lintasan sejarah kepesantrenan di Indonesia secara berkesinambungan.
.
Tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pondok pesantren memainkan peranan penting
dalam usaha memberikan pendidikan bagi bangsa Indonesia terutama pendidikan
agama. Pesantren, dari awal mula berdiri hingga saat ini masih terus dapat
eksis dan berperan dalam upaya memberikan pendidikan yang bermutu. Makalah ini
diarahkan untuk melihat dengan jelas perkembangan yang terjadi pada dunia
pesantren dari awal mula kemunculannya hingga saat ini, juga berbagai macam
dinamika yang terjadi mengiringi eksistensi pesantren sebagai lembaga
pendidikan dan pengayom masyarakat.
B.
Sejarah Berdirinya
Pesantren
1.
Permulaan Berdiri
Pesantren adalah suatu lembaga
pendidikan Islam yang telah tua sekali usianya, telah tumbuh sejak ratusan
tahun yang lalu, yang setidaknya memilikii lima unsur pokok, yaitu kiyai,
santri, pondok, mesjid dan pengajaran ilmu-ilmu agama. [1]
Dalam menentukan kapan pertama
kalinya pesantren berdiri di Indonesia, terlebih dahulu perlu melacak kapan
pertama kalinya Islam masuk ke semenanjung nusantara. Terdapat berbagai
pendapat mengenai kapan masuknya Islam di Indonesia, ada yang berpendapat
semenjak abad ketujuh, namun ada juga yang berpendapat semenjak abad kesebelas.
Terlepas dari perdebatan seputar kapan masuknya Islam di Indonesia, namun
terjadinya kontak yang lebih intens antara budaya Hindu-Budha dan Islam dimulai
sekitar abad ketiga belas ketika terjadi kontak perdagangan antara kerajaan
Hindu jawa dengan Kerajaan Islam di Timur Tengah dan India.[2] Dan penyebaran Islam di Indonesia khususnya
di Jawa tidak terlepas dari peran wali songo yang dengan gigih memperjuangkan
dan menyebarkan nilai-nilai Islam.
Berdirinya Pesantren pada mulanya
juga diprakarsai oleh Wali Songo yang diprakarsai oleh Sheikh Maulana Malik
Ibrahim yang berasal dari Gujarat India. Para Wali Songo tidak begitu kesulitan
untuk mendirikan Pesantren karena sudah ada sebelumnya Instiusi Pendidikan
Hindu-Budha dengan sistem biara dan Asrama sebagai tempat belajar mengajar bagi
para bikshu dan pendeta di Indonesia[3].
Pada masa Islam perkembangan Islam, biara dan asrama tersebut tidak berubah
bentuk akan tetapi isinya berubah dari ajaran Hindu dan Budha diganti dengan
ajaran Islam, yang kemudian dijadikan dasar peletak berdirinya pesantren.
Selanjutnya pesantren oleh beberapa
anggota dari Wali Songo yang menggunakan pesantren sebagai tempat mengajarkan
ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Sunan Bonang mendirikan pesantren
di Tuban, Sunan Ampel mendirikan pesantren di Ampel Surabaya dan Sunan Giri
mendirikan pesantren di Sidomukti yang kemudian tempat ini lebih dikenal dengan
sebutan Giri Kedaton.[4]
Keberadaan Wali Songo yang juga pelopor
berdirinya pesantren dalam perkembangan Islam di Jawa sangatlah penting
sehubungan dengan perannya yang sangat dominan. Wali Songo melakukan satu
proses yang tak berujung, gradual dan berhasil menciptakan satu tatanan
masyarakat santri yang saling damai dan berdampingan. Satu pendekatan yang
sangat berkesesuaian dengan filsafat hidup masyarakat Jawa yang menekankan
stabilitas, keamanan dan harmoni.
Pendekaan Wali Songo, yang kemudian
melahirkan pesantren dengan segala tradisinya, perilaku dan pola hidup saleh
dengan mencontoh dan mengikuti para pendahulu yang terbaik, mengarifi budaya
dan tradisi lokal merupakan ciri utama
masyarakat pesantren. Watak inilah yang dinyatakan sebagai factor dominan bagi
penyebaran Islam di Indonesia.[5]
Selain itu ciri yang paling menonjol pada pesantren tahap awal adalah
pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama kepada para santri lewat-lewat
kitab-kitab klasik.[6]
Persoalan asal usul pesantren secara
historis lebih tepat jika dipandang sebagai akibat akulturasi dua tradisi besar
Islam dan Hindu-Budha yang saling berinteraksi dan saling memperngaruhi satu
sama lain dari pada menerima warisan tradisi yang memposisikan tradisi Islam
sebagai tradisi yang pasif. Artinya, pandangan hidup dan pemikiran keagamaan
kalangan pesantren tidak begitu saja mewarisi taken for granted kebudayaan
Hindu-Budha.
2.
Pesantren Pada Masa
Penjajahan
Pada zaman penjajahan Belanda, dengan
berbagai cara Penjajah berusaha untuk mendiskreditkan pendidikan Islam yang
dikelola oleh pribumi termasuk didalamnya Pesantren. Sebab pemerintah colonial
mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem yang berlaku di barat pada waktu
itu, namun hal ini hanya diperuntukkan bagi golongan elit dari masyarakat
Indonesia. Jadi ketika itu ada dua alternatif pendidikan bagi bangsa Indonesia.
Sebagian besar sekolah colonial
diarahkan pada pembentukan masyarakat elit yang akan digunakan untuk
mempertahankan supremasii politik dan ekonomi bagi Pemerintah Belanda. Dengan
didirikannya lembaga pendidikan atau sekolah yang diperuntukkan bagi sebagian
Banga Indonesia tersebut terutama bagi golongan priyayi dan pejabat oleh
pemerintah kolonial, maka semenjak itulah terjadi persaingan antara lembaga
pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan pemerintah.[7]
Meskipun harus bersaing dengan sekolah-sekolah
yang diselenggarakan pemerintah Belanda, pesantren terus berkembang jumlahnya.
Persaingan yang terjadi bukan hanya dari segi ideologis dan cita-cita
pendidikan saja, melainkan juga muncul dalam bentuk perlawanan politis dan
bahkan secara fisik. Hampir semua perlawanan fisik (peperangan) melawan
pemerintah colonial pada abad ke-19 bersumber atau paling tidak mendapatkan
dukungan sepenuhnya dari pesantren, seperti perang paderi, Diponegoro dan
Perang Banjar.
Menghadapi kenyataan demikian menyebabkan
pemerintah Belanda diakhir abad ke-19 mencurigai eksistensi pesantren, yang
mereka anggap sebagai sumber perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Pada tahun
1882 Belanda mendirikan Priesterreden (pengadilan agama) yang salah satu
tugasnya mengawasi pendidikan di pesantren. Kemudian dikeluarkan Ordonansi
(undang-undang) tahun 1905 mengenai pengawasan terhadap peguruan yang hanya
mengajarkan agama (pesantren), dan guru-guu yang mengajar harus mendapatkan
izin pemerintah setempat.[8]
Seiring dengan perkembangan
sekolah-sekolah Barat modern yang mulai menjamah sebagian masyarakat Indonesia,
pesantren pun tampaknya mengalami perkembangan yang bersifat kualitatif,
meskipun ruangeraknya senantiasa diawasi dan dibatasi. Ide-ide pembaharuan
dalam Islam, termasuk pembaharuan dalam pendidikan mulai masuk ke Indonesia,
dan mulai merasuk ke dunia pesantren serta dunia pendidikan Islam lainnya.
Pembaharuan ini menyebabkan sistem
modern klasikal mulai masuk ke pesantren, yang sebelumnya masih belum dikenal.
Metode halaqah berubah menjadi sistem klasikal, dengan mulai menggunakan kursi,
meja dan mengajarkan pelajaran umum. Sementara itu beberapa pesantren mulai
memperkenalkan sistem madrasah sebagaimana yang diterapkan pada sekolah umum.
3.
Pertumbuhan dan
Perkembangan Pada Masa Kemerdekaan
Dalam sejarahnya mengenai peran
pesantren, dimana sejak masa kebangkitan Nasional sampai dengan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan RI, pe senantiasa tampil dan telah mampu
berpartisipasi secara aktif. Oleh karena itulah setelah kemerdekaan pesantren
masih mendapatkan tempat dihati masyarakat. Ki Hajar Dewantara saja selaku
tokoh pendidikan Nasional dan menteri Pendididkan Pengajaran Indonesia yang
pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional,
karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian Bangsa Indonesia.[9]
Begitupula halnya dengan Pemerintah
RI, mengakui bahwa pesantren dan madrasah merupakan dasaar pendidikan dan
sumber pendidikan nasional, dan oleh karena ituharus dikembangkan, diberi
bimbingan dan bantuan. Sejak awal kehadiran pesantren dengan sifatnya yang
lentur (flexible) ternyata mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat sera
memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu juga pada era kemerdekaan dan pembangunan
sekarang, pesantren telah mampu menampilkan dirinya aktif mengisi kemerdekaan
dan pembangunan, terutama dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang
berkualitas.
Berbagai inovasi telah dilakukan
untuk pengembangan pesantren baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Masuknya
pengetahuan umum dan keterampilan ke dalam dunia pesantren dalah sebagai upaya
mmberikan bekal tambhan agar para santri bila telah menyelesaikan pendidikannya
dapat hidup layak dalam masyarakat.
Dewasa ini pondok pesantren mempunyai
kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang
selama ini dipergunakan, diantaranya adalah mulai akrab dengan metodologi
ilmiah modern, den semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya
terbuka atas perkembangan di luar dirinya. Juga diversifikasi program dan
kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya pun absolute dengan kiai, dan
sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata
pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja dan juga
dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.[10]
Dalam rangka menjaga kelangsungan
hidup pesantren, pemerintah berusaha untuk membantu mengembangkan pesantren
dengan potensi yang dimilinya. Arah perkembangan itu dititik beratkan pada,
pertama, peningkatan tujuan institusional pondok pesantren dalam kerangka
pendidikan nasional dan pengembangan potensinya sebagai lembaga social
pedesaan. Kedua, peningkatan kurikulum dengan metode pendidikan agar efisiensi
dan efektifitas pesantren terarah.
Ketiga, menggalakkan pendidikan
keterampilan di lingkungan pesantren untuk mengembangkan potensi pesantren
dalam bidang prasarana social dan taraf hidup masyarakat, dan yang terakhir,
menyempurnakan bentuk pesantren dengan madrasah menurut keputusan tiga menteri
tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah.
Akhir-akhir ini pesantren mempunyai
kecenderungan-kecenderungan yang tampaknya ditujukan untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan pendidikan yang ada, sebagaimana telah dikemukaakan terdahulu.
Pertumbuhan dan perkembangan pesantren di Indonesia sepertinya cukup mewarnai
perjalanan sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Kendatipun demikian pesantren
dengan berbagai kelebihannya, juga tentunya tidak akan dapat menghindar dari
segala kritik dan kekurangannya.
C.
Landasan Yuridis Formal
Pesantren
Landasan Yuridis formal berdirinya pesantren di
Indonesia adalah sebagai berikut :
1.
Pancasila, sebagai dasar negara
dan filsafah hidup bangsa Indonesia khususnya pada Sila I yang berbunyi
“Ketuhanan Yang Maha esa”. Ini berarti agama dan institusi-insitusi agama dapat
hidup dan diakhui di Indonesia.
2.
UUD 1945, sebagai landasan
hukum negara Republik Indonesia pada Pasal 33 tentang hak setiap warga negara
untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
3.
UUD 1954, ayat 1-2 (BPKNIP)
yang menyatakan bahwa pendidikan agama merupakan bagian dari sistem pendidikan
nasional.
4.
UU No. 22 Tahun 1989 yang
disempurnakan dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional memuat pada pasal 30 ayat 1 sampai 4 memuat bahwa pondok pesantren
termasuk pendidikan keagamaan dan merupakan bagian dari sistem pendidikan
nasional. Undang-undang ini amat signifikan dalam menentukan arah dan kebijakan
dalam penanganan pendidikan pondok pesantren dimasa yang akan datang.
5.
Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun
1979.
6.
Keputusan Menteri Agama No. 18
tahun 1975 di Ubah dengan Keputusan Menteri Agama No. 1 Tahun 2001, tentang
penambahan direktorat pendidikan keagamaan dan pondok pesantren departemen
agama sehingga pondok pesantren mendapatkan perhatian khusus dari Kementerian
Departemen Agama.
D.
Dinamika Pesantren
1.
Dinamika Keilmuan dan
pendidikan
Pada awalnya berdirinya, pesantren
merupakan media pembelajaran yang sangat simple. Tidak ada klasifikasi kelas,
tidak ada kurikulum, juga tidak ada aturan yang baku di dalamnya. Sebagai media
pembelajaran keagamaan, tidak pernah ada kontrak atau permintaan santri kepada
kiai untuk mengkajikan sebuah kitab, apalagi mengatur secara terperinci
materi-materi yang hendak diajarkan. Semuanya bergantung pada kiai sebagai poros
sistem pembelajaran pesantren. Mulai dari jadwal, metode, bahkan kitabyang
hendak diajarkan, semua merupakan wewenang seorang kiai secara penuh.[11]
Tidak seperti lembaga pendidikan lain
yang melakukanperekrutan siswa pada waktu-waktu tertentu, pesantren selalu
membuka pintu lebar-lebar untuk paa calon santri kapan pun juga. Tak hanya itu,
pondok pesantren juga tidak pernah menentukan batas usia untuk siswanya.
Siapapun dan dalam waktu kapanpun yang berkeinginan unuk memasuki pesantren,
maka kiai akan selalu welcome saja.
Dua model pembelajaran yang terkenal
pada awal mula berdirinya pesantren adalah model sistem pembelajaran wetonan
non klasikal dan sistem sorogan. Sistem wetonan/bandongan adalah pengajian yang
dilakukan oleh seorang kiai yang diikuti oleh santrinya dengan tidak ada batas
umur atau ukuran tingkat kecerdasan. Sistem pembelajaran model ini, kabarnya
merupakan metode yang diambil dari pola pembelajaran ulama Arab. Sebuah
kebiasaan pengajian yang dilakukan di lingkungan Masjid al-Haram. Dalam sistem
ini, seorang kiai membacakan kitab, sementara para santri masing-masing
memegang kitab sendiri dengan mendengarkan keterangan guru untuk mengesahi atau
memaknai Kitab Kuning.
Lain dengan pengajian wetonan,
pengajian sorogan dilakukan satu persatu, dimana seorang santri maju satu
persatu membaca kitab dihadapan kiai untuk dikoreksi kebenaannya. Pada
pembelajaran sorogan ini, seorang santri memungkinkan untuk berdialo dengan
kiai mengenai masalah-masalah yang diajarkan. Sayangnya banyak menguras waktu
dan tidak efesien sehingga diajarkan pada santri-santri senior saja.
Pada dasarnya , dalam pesantren
tradisional, tinggi rendahnya ilmu yang diajarkan lbih banyak tergantung pada
keilmuan kiai, daya terima santri dan jenis kitab yang digunakan. Kelemahan
dari sistem ini adalah tidak adanya perjenjangan yang jelas dan tahapan yang
harus diikui oleh santri. Juga tidak ada pemisahan antara santri pemula dan
santri lama. Bahkan seorang kiai hanya mengulang satu kitab saja untuk
diajarkan pada santrinya.[12]
Pada abad ke tujuh belasan, materi
pembelajaran pesantren didominasi olehmateri-materi ketahuidan. Memang pada
waktu itu ajaran ketauhidan dan ketasaufan menduduki urutan yang paling
dominant. Belakangan, sejalan dengan banyaknya para ulama yang berguru ketanah
suci, materi yang diajarkannya pun bervariasi.
Baru pada awal abad kedua puluhan
ini, unsur baru berupa sistem pendidikan klasikal mulai memasuki pesantren.
Sejalan dengan perkembangan dan
perubahan bentuk pesantren, Menteri Agama RI. Mengeluarkan peraturan nomor 3
tahun 1979, yang mengklasifikasikan pondok pesantren sebagai berikut:
1.
Pondok Pesantren tipe A, yaitu
dimana para santri belajar dan bertempat tinggal di Asrama lingkungan pondok
pesantren dengan pengajaran yang berlangsung secara tradisional (sistem wetonan
atau sorogan).
2.
Pondok Pesantren tipe B, yaitu
yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal dan pengajaran oleh kyai
bersifat aplikasi, diberikan pada waktu-waktu tertentu. Santri tinggal di
asrama lingkungan pondok pesantren.
3.
Pondok Pesantren tipe C, yaitu
pondok pesantren hanya merupakan asrama sedangkan para santrinya belajar di
luar (di madrasah atau sekolah umum lainnya), kyai hanya mengawas dan sebagai
pembina para santri tersebut.
4.
Pondok Pesantren tipe D, yaitu
yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau
madrasah.[13]
Peraturan Pemerintah, dalam hal ini
Menteri Agama yang mengelompokkan pesantren menjadi empat tipe tersebut, bukan
suatu keharusan bagi pondok pesantren tersebut. Namun, pemerintah menyikapi dan
menghargai perkembangan serta perubahan yang terjadi pada pondok pesantren itu
sendiri, walaupun perubahan dan perkembangan pondok pesantren tidak hanya
terbatas pada empat tipe saja, namu akan lebih beragam lagi. Dari tipe yang
sama akan terdapat perbedaan-perbedaan tertentu
yang menjadikan satu sama lain akan berbeda.
Dari sekian banyak tipe pondok
pesantren, dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagai para
santrinya, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk pondok
pesantren:
1.
Pondok Pesantren Salafiyah,
yaitu yang menyelenggarakan pengajaran Alquran dan ilmu-ilmu agama Islam, serta
kegiatan pendidikan dan pengajarannya sebagaimana yang berlangsung sejak awal
pertumbuhannya.
2.
Pondok Pesantren Khalafiyah,
yaitu pondok pesantren yang selain menyelenggarakan kegiatan pendidikan
kepesantrenan, juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah atau
madrasah).
Populasi pondok pesantren ini semakin
bertambah dari tahun ke tahun, baik pondok pesantren tipe salafiyah maupun khalafiyah
yang kini tersebar di penjuru tanah air. Pesatnya pertumbuhan pesantren ini
akan sekan mendorong pemerintah untuk melembagakannya secara khusus. Sehingga
keluarlah surat keputusan Menteri Agama
Republik Indonesia nomor 18 tahun 1975 tentang susunan organisasi dan tata
kerja Departemen agama yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan keputusan
Menteri Agama RI nomor 1 tahun 2001.
Dengan keluarnya surat keputusan
tersebut, maka pendidikan pesantren dewasa ini telah mendapatkan perhatian yang
sama dari pemerintah terutama Departemen Agama. Saat ini telah menjadi
direktorat tersendiri yaitu direktorat pendidikan keagamaan dan pondok
pesantren yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pondok pesantren secara
optimal terhadap masyarakat.
Data yang diperoleh dari kantor Dinas
Pendidikan, Departemen Agama serta Pemerintahan Daerah, sebagaian besar anak
putus sekolah, tamatan sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, mereka tidak
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, namun mereka tersebar di
pondok pesantren dalam jumlah yang relatif banyak. Kondisi pondok pesantren
yang demikian akhirnya direspon oleh pemerintah. Sehingga lahirlah kesepakatan
bersama antara departemen Agama dan departemen Pendidikan dengan nomor
1/U/KB/2000 dan MA/86/2000 tentang pedoman pelaksanaan pondok pesantren
salafiyah sebagai pola pendidikan dasar.
Secara eskplisit, untuk
operasionalnya, setahun kemudian keluar surat keputusan Direktur Jendral
Kelembagaan Agama Islam, nomor E/239/2001 tentang panduan teknis penyelenggaraan
program wajib belajar pendidikan dasar pada pondok pesantren salafiyah.
Lahirnya UU nomor 02 tahun 1989, yang
disempurnakan menjadi UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
pada pasal 30 ayat 1 sampai ayat 4 disebutkan pendidikan keagamaan, pondok
pesantren termasuk bagian dari sistem pendidikan nasional. Merupakan dokumen
yang amat penting untuk menetukan arah dan kebijakan dalam penanganan pendidikan pada pondok
pesantren di masa yang akan datang.[14]
Pada mulanya kiai merupakan fungsionaris
tunggal dalam pesantren. Semenjak berdirinya madrasah dalam lungkkungan
pesantren inilah, diperlukan sejumlah guru-guru untuk mengajarkan berbagai
macam jenis pelajaran baru yang tidak semuanya dikuasai oleh kiai. Sehingga
peran guru menjadi penting karena kemampuan yang dimilikinya dari pendidikan
diluar pesantren. Dan sejak saat itu kiai tidak menjadi fungsionaris tunggal
dalam pesantren.
Mengikuti perkembangan zaman,
beberapa pesantren mulai memasukkan pelajaran keterampilan sbagai salah satu
materi yang diajarkan. Ada keterampilan berternak, bercocok tanam, menjahit
berdagang dan lain sebagainya. Disisi lain ada juga pesantren yang cenderung
mengimbangi dengan pengetahuan umum. Seperti tercermin dalam madrasah yang
disebut dengan “modern” dengan menghapuskan pola pembelajaran wtonan, sorogan
dan pembacaan kitab-kitab tradisional. Dengan mengadopsi kurikulum modern,
pesantren yang terakhir ini lebih mengutamakan penguasaan aspek bahasa.
Pada awal berdirinya pondok
pesantren, pendidikan yang berada didalamnya umumnya berakhir hingga ke jenjang
setingkat sekolah menengah Umum / Aliyah. Namun karena mengikuti kemajuan zaman
dan arus pesatnya informasi, pondok Pesantren mulai menyediakan pendidikan
setingkat perguruan tinggi, khususnya yang berbasis agama seperti fakultas
Dakwah, Tarbiyah dan Syari’ah. Ini seperti yang terdapat pada pondok pesantren
Modern Gontor yang telah memiliki perguruan tinggi sebagai wadah bagi santrinya
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang setingkat perguruan tinggi.
2.
Pengaruh dan Eksistensi
Pesantren
Pada abad ke-18, nama pesantren sebagai lembaga
pendidikan rakyat menjadi begitu berbobot, terutama berkenaan dengan perannya
dalam menyebarkan ajaran Islam. Pada masa itu berdirinya pesantren senantiasa
ditandai dengan “perang nilai” antara pesantren yang akan berdiri dengan
masyarakat sekitar, yang selalu dimenangkan oleh pihak pesantren, sehingga
pesantren diterima untuk hidup dimasyarakat dan kemudian menjadi panutan.[15]
Bahkan kehadiran pesantren dengan santri yang banyak dapat menghidupkan ekonomi
masyarakat sehingga dapat memakmurkan masyarakat sekitar.
Selain itu pesantren juga memiliki hubungan erat dengan
pejabat sekitar. Kiprah kiai dalam menumpas para perusuh mendapat perhatian
besar dari pejabat setempat hingga raja. Tak jarang para Raja mengirim
putra-putrinya untuk belajar pada kiai tertentu, dan sebagai bentuk
penghormatan, pesantren dibebaskan dari pajak tanah. Pada waktu itu kiai
terkenal dengan kesaktiannya, makanya seringkali para Raja mohon bantuan
manakala kerajaan menghadapi kekacauan. Hal ini seperti yang dilakukan
Pakubuwono yang meminta kiai Agung Muhammad Besari untuk membantunya dalam
usaha menghalau musuh.
Terpengaruh dengan adat hindu dimana posisi biksu
mendapatkan kasta yang pertama, maka begitu juga dalam kacamata masyarakat
Jawa. Orang-orang ynag berada di pesantren –baik kiai maupun santri-
mendapatkan tempat yang tinggi dalam stratifikasi masyarakat. Bahkan tak jarang
para Raja menikahkan anak-anak mereka dengan para kiai tersohor, sehingga
menggabungkan dua strata tertinggi dimasyarakat sekaligus. Hal ini seperti Kiai
Kasan Besari yang menjadi menantu Pakubuwono II.
Walaupun kehidupan asketis yang luar biasa terjadi dalam
dunia pesantren waktu itu, namun demikian tidak dapat dipungkiri peran yang
luar biasa pada masa penjajahan. Dimana jarang sekali sebuah pesantren yang
berkompromi dengan penjajahan. Pesantren selalu menjadi basis pejuangan
mengusir penjajahan, dimana para pemuda yang ingin maju kemedan pertempuran
slalu berkumpul didalamnya untuk melakukan “isian dan gemblengan”. Dalam hal
ini kita tidak akan lupa dengan kasus Pangeran Diponegoro. Begitu mengakarnya
peran ulama/kiai dalam masyarakat –khususnya Jawa, sehingga tak jarang yang
menimbulkan mitos-mitos dibalik perjuangan pahlawan kemerdekaan. Seperti adanya
sosok Kiai Seibi Angin dibalik perjuangan heroic Jaka Sembung.[16]
Akhir abad ke-19, lembaga pesantren semakin berkembang
secara cepat dengan adanya sikap non-kooperatif ulama terhadap kebijakan
“politik etis” pemerintah kolonial Belanda. Sikap non-kooperatif dan silent
opposition para ulama itu kemudian ditunjukkan dengan mendirikan pesantren di
daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi yang dilakukan
pemerintah colonial serta memberi kesempatan kepada rakyat yang belum memperoleh
pendidikan.
Sebagai lembaga pendidikan yang berumur sangat tua ini,
pesantren dikenal sebagai media pendidikan yang menampung seluruh jenis strata
masyarakat. Lebih jauh pesantren pada waktu itu sedah membuat lembaga
pendidikan umum yang didalamnya tidak hanya mengajarkan agama saja. Bisa
dikatakan bahwa pesantren pada waktu itu merupakan lembaga alternative kontra
dari pendidikan colonial yang hanya diperuntukkan bagi kalangan ningrat saja.
Fakta sejarah membuktikan, betapa kalangan pesantren sangat
intensif melakukan perlawanan terhadap segala perilaku budaya dan ideologi
maupun politik yang dikhawatirkan akan merongrong ideology yang mereka yakini.
Sebut saja seperti pendirian Nahdatul Ulama yang dimotori oleh orang-orang
pesantren. Sikap ini juga ditunjukkan dengan pertentangan antara orang-orang
pesantren vis a vis gerakan komunis. Alasan yang dikumandangkan
orang-orang pesantren bahwa gerakan tersebut membahayakan keberagamaan
masyarakat di Indonesia. Pada fase menjelang kemerdekaan juga bisa dilihat
bagaimana para kiai dan santri untuk menolak habis-habisan budaya ‘saikere”
yaitu membungkuk sembilan puluh derajat untuk menghormati matahari sebagai dewa
bangsa Jepang. Akibatnya kiai ternama seperti Kh. Hasyim Asy’ari mendekam di
penjara.[17]
Pesantren-ulama/kiai-santri biasanya memiliki hubungan
yang cukup erat dengan masyarakat sekelilingnya. Bahkan tradisi yang berlaku
didunia pesantren ini pun berlaku dalam dunia luar pesantren. Hal ini dapat
terjadi denngan undangan dari masyarakat kepada kiai untuk menghadiri acara
tertentu atau dari para alumni pesantren yang menyebar kedaerah-daerah untuk
menyebarkan ilmu yang telah didapatkannya dipesantren. Seperti pada peringatan
maulid Nabi, Nuzul al-Qur’an, walimah al-ursy, pengajian dan lain sebagainya.
Dari saling berkelindannya kiai-pesantren-santri ini
tentunya memiliki pengaruh besar dalam masyarakat. Seorang santri yang baru ke
pesantren satu tahun saja, ketika pulang, dikampungnya akan diperlakkukan
layaknya seorang kiai oleh masyarakat dii tempat ia tinggal. Maka tak jarang
masyarakat karena kecintaan mereka terhadap pesantren banyak memberikan
shadaqah, infaq, waqaf dan amal jariyah lainnya dengan ikhlas untuk
perkembangan pesantren.
3.
Pesantren di Tengah Arus
Globalisasi
Seiring dengan bergulirnya alur modernisasi, politik
global mengalami rekonfigurasi disepanjang lintas-batas kultural. berbagai
masyarakat dan Negara yang memiliki kemiripan kebudayaan akan saling
bergandengan. Sementara mereka yang berada di wilayah kebudayaan yang berbeda
akan memisah dengan sendirinya.
Berhadapan dengan globalisasi dan ancaman kuatnya
benturan peradaban, maka tak mungkin pesantren masih bertahan dengan pola
pembelajaran lama. Tuntutan masyarakat global adalah profesionalisme,
penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi serta etos kerja yang tinggi. Maka
karena itulah watak profesionalitas dan penguasaan teknologi dan pengetahuan
yang standar, diperlukan di pondok pesantren. Jika tidak tentunya pesantren
harus siap-siap digilas oleh laju zaman, ditinggalkan orang karena telah usang
dan tak layak pakai.
Karena itu diharapkan pesantren harus semakin adaptif
terhadap perkembangan kamajuan zaman. Atas dasar itu peluang pesantrean sebagai
lembaga Pendidikan Islam yang akan menciptakan manusia seutuhnya akan semakin
terbuka.[18]
Jika kita mengorelasikan benturan peradaban sebagaimana
yang diramalkan Huntington, maka sesungguhnya konflik yang paling mudah
menyebar dan sangat penting sekaligus berbahaya bukanlah konflik antar kelas
sosial, antar golongan kiai dengan golongan miskin atau antara kelompok
kekuatan ekonomi lainnya, akan tetapi konflik antara orang-orang yang memiliki
etnis budaya yang berbeda. Pertikaian antar suku dan konflik-konflik antar
etnis –dalam peradaban- akan senantiasa terjadi.
Dalam hal semacam ini ada beberapa hal yang perlu
dijadikan catatan dunia pesantren, yaitu: pertama, konflik yang rawan
terjadi pada dunia pesantren sendiri adalah masalah persoalan aliran dan
keagamaan. Maka, sebagai antisipasi terhadap terjadinya konflik tersebut, pesantren hendaknya
menyosialisasikan semangat inklusifitas.
Kedua, berhadapan dengan
derasnya arus informasi yang terus mengalir dengan berbagai ragam, pola hidup
dan budaya yang ditawarkan. Maka, mau tidak mau, pihak pesantren harus
mempersiapkan mental, hingga tidak mudah larut dengan budaya besar. Sekalligus
tidak serta merta menutup dengan budaya yang terus menerus hadir. Bersikap
kritis dan kreatif merupakan sesuatu yang tidak bisa dinafikan.
Ketiga, boleh jadi
ramalan Huntington tentang adanya konflik antar peradaban tersebut benar, namun
juga tidak menutup kemungkinan bahwa kemungkinan konflik tersebut mampu
dihindari. Salah satu caranya adalah dengan mengerahkan kreativitas masyarakat
dalam menjembatani dan memfasilitasi hubungan antara berbagai macam masyarakat
yang berbeda-beda. Dengan demikian akan mampu mengikat perasaan emosional
antarmereka dan akhirnya mampu meminimalisir konflik tersebut dan peran ini
harus mampu dilakukan oleh pesantren.
4. Pendidikan Tinggi di Pesantren.
Adalah merupakan sebuah anggapan umum bahwa pesantren
merupakan hal yang bertolak belakang dengan pendidikan tinggi dengan segala
bentuknya, dikatakan demikian karena pesantren dianggap sebagai ciri dari
pedesaan sementara pendidikan tinggi merupakan ciri dari perkotaan.[19]
Dalam hal mengatasi masalah ini, beberapa pesantren
telah memasukkan unsur pendidikan tinggi ke dalam unsur ke pesantrenan. Pada
masa sekarang ini, ada banyak pondok pesantren yang telah mempunyai perguruan
tinggi di dalamnya.
Nuansa di dalam perguran tinggi di pesantren ternyata
tidak sama dengan nuansa yang dikembangkan di dalam unsur kepesantrenan yang
lain, seperti tradisi cium tangan, mengikuti pendapat guru dan sebagainya. Di
pendidikan tinggi di pesantren, tradisi seperti ini tidak diteruskan, mahasiswa
mempertahankan pendapatnya sendiri dan memperdebatkannya dengan dosen.
Tradisi baru inilah kemudian yang membuat shock
mahasiswa lulusan pesantren salafiyah, karena hal demikian sangat bertentangan
menurut ajaran moral yang ia terima. Masuknya unsur pendidikan tinggi dan segala
tradisinya ke dalam pesantren merupakan pengaruh dari globalisasi dan
modernisasi.
E.
Penutup
Pesantren dipadang sebagai lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia yang didirikan oleh para ulama (Kiai : Jawa). Pesantren didirikan dalam rangka
mendidik masyarakat untuk memahami dan melaksanakan ajaran Islam, dengnan
menekankan pentignya moral keagamaan sebagai pedoman hidup. Pengertian tertua,
karena pesantren adalah lembaga yang telah lama hidup dan masih tetap eksis
hingga saat ini walaupun telah banyak berubah dari bentuk awal mula berdirinya
dari berbagai bidangnya. Bahkan pesantren telah menjadi bagian yang mendalam
dari sistem kehidupan sebagian besar umat islam di Indonesia dan turut mewarnai
dinamika bangsa Indonesia.
Demikianlah makalah ini kami tulis, semoga dapat
bermanfaat dan menjadi masukan berarti bagi dunia pendidikan khususnya
pesantren, terutama sebagai bahan diskusi pada mata kuliah Pendidikan Islam
dalam Sistem Pendidikan Nasional. Kepada Allah saya berserah diri sambil berharap
selalu mendapat taufik dan hidayah darinya. Wallahu a’lam.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Fahry dan
Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru, Rekontruksi Pemikiran Indonesia Masa
Orde Baru. Bandung : Mizan, 1990.
Daulay,
Haidar Putra. Dinamika Pendidikan Islam. Bandung : Citapustaka, 2004.
________________,
Pendidikan Islam, Dalam Sistem Pendidikan Nasional Jakarta : Prenada Media, 2004.
Dhofier,
Zamakhsari, Tradisi Pesantren, Shtudi tentang Pandang Hidup Kiai. Jakarta
: LP3ES, 1994.
Faiqah, Nyai,
Agen Perubahan di Pesantren. Jakarta : Kucica, 2003.
Kafrawi, Pembaharuan
Studi Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Pembentukan Prestasi Kerja dan
Pembinaan Kesatuan Bangsa . Jakarta : Cemara Indah, 2004.
Haedari, Amin
dkk, Panorama, Pesantren Dalam Cakrawala Modern. Jakarta: Diva Pustaka,
2004.
Hamzah, Amir, Pembaharuan
Pendidikan dan Pengajaran Islam, Mulia Offset, Jakarta, 1989.
Karim, Rusli, Pendidikan
Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana,
1991.
Prawiranegara,
Alamsyah Ratu, Pembinaan Pendidikan Agama, Depag. RI, Jakarta.
Soemarjan, Selo,
Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gajahmada Pers, Yogyakarta: t.p.
Supriyadi, Kiai,
Priyai di Masa Transisi. Surakarta: Pustaka Cakra, 2001.
Tim Penyusun, Ke-Nu-an,
Ahlussunnah Wali Songo al-Jama’ah. Semarang : CV Wicaksana, 1990.
[1] Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, MA, Dinamika Pendidikan Islam
(Bandung : Citapustaka, 2004), h. 113.
[2] Dra. Faiqah, M.Hum, Nyai, Agen Perubahan di Pesantren (
Jakarta : Kucica, 2003), h. 146-147.
[3] Kafrawi, Pembaharuan Studi Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai
Usaha Pembentukan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa (Jakarta :
Cemara Indah, 2004), h. 17.
[4] Ibid, h. 17.
[5] Fahry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru, Rekontruksi
Pemikiran Indonesia Masa Orde baru (Bandung : Mizan, 1990), h. 31.
[6] Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, MA, Pendidikan Islam, Dalam
Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta : Prenada Media, 2004), h.26.
[7] Selo Soemarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gajahmada
Pers, Yogyakarta, H. 278.
[8] Amir Hamzah, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam,
Mulia Offset, Jakarta, 1989, h. 47.
[9] Alamsyah Ratu Prawiranegara, Pembinaan Pendidikan Agama,
Depag. RI, Jakarta, h. 41.
[10] Rusli Karim, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi
Sosial ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 134.
[11] Drs. H. Amin Haedani, M.Pd dkk, Panorama, Pesantren Dalam
Cakrawala Modern (Jakarta: Diva Pustaka, 2004), h. 80.
[12] Ibid, h. 82.
[13] Mahpuddin Noor, Potret Dunia Pesantren (Bandung: Humaniora,
2006), h. 44.
[14] Ibid, h. 162-163.
[15] Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, Shtudi tentang Pandang
Hidup Kiai (Jakarta : LP3ES, 1994) h.9.
[16] Supriyadi, Kiai, Priyai di Masa Transisi (Surakarta: Pustaka
Cakra, 2001).
[17] Tim Penyusun, ke-Nu-an, Ahlussunnah Wali Songo al-jama’ah
(Semarang : CV Wicaksana, 1990) h. 35.
[18] Haidar, Pendidikan Islam.., h. 36.
[19] Amin Haedari, Panorama Pesantren Dalam Cakrawal Modern (Jakarta:
Diva Pustaka, 2004), h. 96. lihat juga Mahpuddin Noor, Potret, h.79.
No comments:
Post a Comment